DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #85

Benediktus di dalam Bui #85

Hujan turun. Dingin merasuk hingga ke sumsum tulang. Denyut jantung berdetak menggigil. Tempias hujan meresap ke dalam sel-sel tembok, menyebabkan lembab yang begitu sembab. Sia-sia berusaha bersembunyi di balik selimut atau berpura-pura merasa hangat dengan teh panas. Tak ada gunanya. Hujan sedang begitu arogan, dan marah, dan tidak main-main.

Beberapa air menetes di sudut jeruji yang serupa batu es yang suram dan angkuh. Benediktus berbaring meringkuk. Selimut tipis yang dibekali istrinya dihampar di seluruh badan. Ia sedikit menggigil, namun bukan dingin yang menjadi masalahnya. Ia tidak menyukai suasana lembab dan beku ini. Ia tidak pernah bisa tenang dalam suasana begini.

Hari ini, sudah satu bulan tiga minggu dua hari ia berada di dalam penjara. Semua hari dilewati Benediktus dengan kebingungan, dengan kebimbangan. Awalnya, ia berpikir bahwa kebingungan seperti ini merupakan hal yang lumrah, sebagaimana seseorang datang ke tempat baru, maka ia harus menyesuaikan diri dengan rutinitas baru, lingkungan baru. Namun, setelah sebulan berlalu, persoalan ternyata tidak sesederhana itu.

Hanya orang yang telah betul-betul berputus asa mencari makan yang menjadikan penjara sebagai tujuan hidup. Benediktus tidak tergolong orang seperti itu. Sayangnya, ia dikandangkan bersama orang-orang seperti itu. Hatinya selalu bertanya-tanya, bagaimana orang-orang di sel tahanan itu masih bisa tertawa terbahak-bahak, bercanda lebih hebat daripada saat di luar sana.

Ada tujuh orang di sel Benediktus. Mereka itu adalah pencopet, maling knalpot, maling lonceng kelenteng, tukang lotre; pelaku kejahatan yang terdesak akibat kurangnya biaya hidup dan hura-hura. Ia berada di sini karena hakim berbaik hati, yang mengategorikan kejahatan Benediktus sebagai pembunuhan tanpa sengaja, dan memang begitu adanya. Jika dimasukkan ke sel yang berisikan pembunuh berantai, pembantai, sakit mental, tentulah tidak tepat. Sementara, kasus pembunuhan tanpa sengaja sangat jarang terjadi, jadi tidak ada sel khusus untuk kejahatan ini. Sebab itu, di sel para maling inilah Benediktus mendekam.

Di penjara, waktu seakan berjalan lamban, menyebabkan banyak waktu yang tersedia bagi kegiatan melamun dan merenung. Mau tidak mau, Benediktus tidak bisa mengelak untuk semakin bingung. Ia merasa dirinya tidak pantas untuk berada di sini. Ia tidak bisa tertawa sebagaimana kawan-kawan satu selnya. Ompong misalnya, dengan senang hati menceritakan bahwa ia sudah sembilan kali masuk ke penjara. Menurutnya, cari makan lebih mudah di penjara. Ia pernah mengancam pengacara yang berusaha bersimpati dengan nasibnya dan mengusulkan agar durasi masa tahanan dikurangi. Setiap bercerita, Ompong selalu tertawa, tidak peduli apakah cerita itu menarik atau tidak, apakah orang lain mendengarkan atau tidur. Tawanya khas, seperti siulan, mungkin pengaruh dari giginya yang ompong di tengah.

Pernah ada yang iseng melemparkan kecoa saat ompong sedang tertawa, menganga. Kecoa itu masuk tanpa hambatan ke tenggorokan. Ompong marah. Ia bangkit. Badan cekingnya tidak menyiutkan nyali. Ditamparnya orang itu sekuat tenaga, dan lantas terjadi perkelahian. Sambil berkelahi, dan dengan amarah yang luar biasa, ia masih tetap tertawa-tawa.

Lihat selengkapnya