Narapidana lain heran dan bingung. Mereka ingin marah karena acara makan terganggu, namun amarah Benediktus terasa tanggung, alih-alih mengerikan. Yang terjadi hanya tontonan komedi. Benediktus bahkan tidak bisa memecahkan piringnya! Beberapa orang duduk dengan santai, memperhatikan sambil terkekeh-kekeh pelampiasan amarah yang tidak jelas asal-usulnya.
Benediktus serupa kambing kurus yang kalut karena hendak disembelih. Beberapa yang lain dengan senang hati memberi Benediktus piring untuk dilempari. Beberapa yang lain menatapnya dengan pandangan iba.
Amarahnya meningkat, giginya digertak-gertak. Kelemahan semakin melumpuhkan raganya. Tangis dan makian muncul dari mulutnya. Ia hanya menahan diri agar jangan menyerang orang-orang yang ada di sekitar. Yang diinginkan hanya menumpahkan segala, menyiksa dirinya. Benediktus sengaja menabrakkan diri pada tiang, menghantam dahinya, mengepal dengan amat keras hingga kukunya menusuk telapak tangan, menggigit lidahnya sendiri, dan setiap rasa sakit menyerang, ia semakin berteriak dan menyengir buas.
Sebelum dua orang sipir datang menenangkan, Benediktus sudah kehabisan energi. Ia terkapar habis. Tumbang berlumur keringat, tetes darahnya sendiri, dan tumpahan santan. Kaki dan tangannya bergegar. Napasnya tersengal.
Kedua sipir menarik Benediktus dengan sentakan keras. Tubuh Benediktus lantas dibopong dengan perlakuan pada karung beras. Semua orang mengira nasib Benediktus akan semakin buruk di ruang sipir. Namun, saat Benediktus didudukkan di dalam ruangan kantor sipir jaga, seseorang memberinya air putih. Benediktus menatap pemberian itu dengan tatapan nanar, datar, tetapi mengambilnya juga. Ia menegak habis secepat mungkin. Sebagian isi gelas tumpah ke bajunya.
Untuk beberapa lama Benediktus dibiarkan di sana. Para sipir tampaknya sudah sangat terbiasa dengan situasi seperti itu. Mereka mengabaikan Benediktus seolah Benediktus tidak berada di sana. Mereka ngopi, merokok, ngalor ngidul, dan lebih dari satu jam, saat lebih tenang, Benediktus diperbolehkan kembali ke sel dengan dibekali kapas untuk mengelap luka-lukanya. Sisa hari itu Benediktus habiskan dengan meringkuk. Begitu pula keesokannya. Ia makan sedikit. Bergerak lemah. Meludah dengan enggan. Tidak mandi sekalipun. Benediktus benyai.
Hati kecilnya berharap mati saja.
Tiga hari kemudian sejak peristiwa amukan di ruang makan, tepat saat Benediktus berpikir dirinya hanyalah seonggok masalah di dunia, lebih buruk daripada sampah sebab sampah masih punya manfaat bagi para pemulung, lebih buruk dari kotoran sebab kotoran masih punya manfaat bagi hewan pengurai, seorang sipir datang ke selnya.
“Ada keluargamu datang, dari Sakai. Mau bertemu atau tidak?” tanya si sipir yang bertubuh cukup gempal. Misainya melintang tipis. Ia orang yang lebih cocok bekerja sebagai guru sekolah dasar ketimbang sipir.
Benediktus awalnya berpikir ia sedang dikibuli. Ia tidak menjawab. Ketika si sipir bertanya lagi dengan nada lebih keras, Benediktus mengangkat kepalanya, dan setelah berpikir beberapa saat, mencerna kebenaran dari pertanyaan tersebut, juga mencerna akibat yang mungkin ditimbulkan dari kunjungan keluarga, ia mengangguk kecil. Anggukannya hampir tidak terlihat.