DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #87

Asa Hidup #87

Sisa menit pertemuan dilalui dengan riang. Air mata berganti dengan tawa-tawa. Istri Benediktus berseloroh bahwa kunjungannya kali ini sebenarnya bukan untuk mengunjungi sang suami, melainkan mencari suami baru di Sintang. Kebetulan kepala desa sedang ada pertemuan di kantor bupati. Maria ikut karena bosan di rumah.

“Banyak kepala desa yang ganteng di pertemuan itu,” ujar si istri.

Benediktus membalas, “Kalau ada satu saja narapidana perempuan di sini, terserah bentuknya seperti apa, pasti sudah kunikahi.”

Mereka berdua lantas adu mulut. Maria dan Herman tertawa-tawa.

Pertemuan itu diakhiri dengan pemberian kue dari sang istri. Ada juga satu tas pakaian. Semua pemberian itu telah diperiksa sebelum pertemuan. Saat pemeriksaan, alih-alih mempermasalahkan, petugas pemeriksa justru memberi masukan tambahan. “Besok-besok, bawakan juga dia sabun dan sampo yang wangi. Ia bagai gembel saja. Kalau aku ada baju tidak terpakai, pasti orang pertama yang kuberi itu dia.”

Selesai pertemuan, Benediktus kembali ke selnya dengan jiwa yang baru. Ia mandi yang bersih, makan yang banyak, dan tersenyum yang manis.

Selanjutnya, Benediktus seolah menjadi pusat kunjungan. Ia memecahkan rekor sebagai narapidana yang paling sering dikunjungi dalam bulan itu.

Margono ada datang, membawa satu slop rokok. Benediktus hanya menerima setengah slop, sedangkan setengah slop lagi disita. Margono juga memberinya uang. Benediktus menolaknya, sebab ia pun tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan uang tersebut di penjara.

“Pak Margono banyak membantu saya,” ujar Benediktus. “Saya tidak tahu bagaimana harus membalas.”

“Loh, gimana sampeyan ini. Sampeyan juga banyak bantu saya. Sampeyan itu menginspirasi saya.”

Benediktus tidak paham, apa itu menginspirasi, tapi ucapan Margono selanjutnya membuat Benediktus yakin kata itu bernilai baik.

“Kalau saya di posisi sampeyan, mungkin saya sudah pilih mati saja. Tapi sampeyan ini hebat, sabar, nrimo, ikhlas. Masih bisa bersyukur. Ndak banyak orang seperti sampeyan ini. Wajar orang kampung sampeyan tidak menyalahkan sampeyan, lah wong sampeyan juga tidak sengaja kan? Begitu kan? Oalah, beruntung saya bisa kenal sampeyan… duh gusti, ringankan cobaan kawan saya ini.”

Ada juga Amat.

Jika Amat datang sebulan yang lalu, Benediktus mungkin akan menggapai kepala Amat, tidak peduli ada sipir atau tidak, lalu berusaha sekuat mungkin menghantamkan kepala itu ke meja. Kalau bisa, ia akan mencekiknya juga. Kalau itu terlalu sadis, ia akan menjambak rambut Amat, menarik sebanyak mungkin rambut, hingga pitak, sulah, botak, terserahlah.

Benediktus sering berpikir bahwa semua musibah yang dideritanya bersumber dari Amat. Kawannya itu telah menjerumuskannya. Kematian anaknya, Nek Ga, Rupung, memang tidak ada kaitan secara langsung dengan Amat, tetapi Amat telah menanam benih-benih kerumitan lewat ide sawitnya, membuat harinya senantiasa tidak tenang. Barangkali, Amat juga yang mengabari PT. S bahwa seorang Benediktus, adik Aloisius Santo, memiliki kebun sawit, membuat PT. S memiliki senjata untuk memfitnah abangnya. Entahlah, ini hanya dugaannya. Tidak ada yang pernah tahu siapa narasumber yang dimaksudkan PT. S di dalam beritanya.

Lihat selengkapnya