Sejak kembali dari Sakai, Nadi sepenuhnya terjebak dalam jiwa merana yang kelewatan. Ia sering menghabiskan malam hari dengan bertengger di depan kamar kos. Matanya memandang ke bintang jika langit sedang tidak mendung. Kulitnya merasai hembusan angin, dan berkeringat karena hawa panas kota. Lidahnya mencecap kopi hitam yang enak.
Tetapi, pikirannya tidak berada di tempat. Melayang pada kenangan, pada penyesalan, pada kehausan pengetahuan yang sering kali absurd dan misterius, melayang pada idealis kehidupan, melayang pada kenyataan yang dipijak. Yang sering menjadi korban dari lamunan melayang-melayang ini adalah segelas kopinya. Kopi yang dibuat dengan sungguh-sungguh, hanya disentuh sesekali, membuat aroma harumnya terbuang sia-sia dicecap udara.
Siang hari pun kadang ia begitu. Lesu dan tidak bergairah. Sari kehidupannya terhisap habis. Yang ada hanya ampas napas.
Bapaknya pernah berpesan, hidup serupa berlayar di sebuah sungai. Bukan di lautan. Dan kau adalah pemegang kemudi kapal. Kau bebas sesuka hati, membuat kapalmu berjungkir balik, melompat-lompat, melewati riam yang paling mengerikan, atau singgah di bantaran tempat hutan menyajikan jutaan rasa buah-buahan. Tetapi kau bukan sungai itu. Kau hanya berada di atasnya, dan sungai itu pada akhirnya, bagaimana pun kau menolak untuk mengendarai kapalmu, akan mengantarmu ke hilir; sebuah akhir.
Ketika itu, Nadi memahami, tetapi tidak meyakininya. Ia lebih menyukai gagasan bahwa semua manusia seperti terhubung dalam mega jaring laba-laba. Sekarang pesan ayahnya itu lebih mengena. Sekuat apapun kita mengubah arus, ada hal-hal yang terjadi dengan sendirinya, dengan atau tanpa campur tangan kita. Filosofi jaring laba-laba berhimpitan dengan filosofi aliran sungai.
Nadi saksikan sendiri Nek Ga dikuburkan. Ia juga menyaksikan perang dingin namun gemuruh antara Santo dan Benediktus. Ia turut mengangkut jasad Rupung setelah orang tua itu menjadi korban salah tembak oleh Benediktus. Ia pula yang menyaksikan Benediktus, dengan wajah sedu sedan penuh penyesalan dan putus asa, dibopong empat orang polisi.
Orang-orang kampung kala itu menghunjami penggiringan Benediktus dengan maki-makian. Nadi juga terbawa emosi. Tetapi, beberapa hari kemudian, akal sehatnya bekerja kembali. Benediktus sesungguhnya bukan pelaku kejahatan. Ia adalah korban.
Benediktus adalah korban dari salah satu konsep kemajuan yang cenderung antroposentris. Kemajuan menuntut pemanfaatan sumber daya. Antroposentris memperlihatkan sisi buruk; pemanfaatan dengan mengeksploitasi. Eksploitasi apapun; sumber daya alam, makhluk hidup lainnya, termasuk manusia-manusia yang dipinggirkan sebagai manusia. Konsep kemajuan yang eksploitatif. Konsep semacam itu lahir dari ketidakbecusan berbagai sektor: ketidakbecusan investasi, ketidakbecusan pemerataan kemajuan, ketidakbecusan moral kapitalis, ketidakbecusan pendidikan memanusiakan manusia, ketidakbecusan manusia bersahabat dengan alam, ketidakbecusan doktrin kemajuan yang menitikberatkan materi, ketidakbecusan apa saja.
Konsep semacam itu jelas akan memakan korban. Benediktus korban itu. Ia ketiban sial akibat segala ketidakbecusan tersebut. Dan ia tidak seorang. Masih banyak lagi korban seperti Benediktus. Masih banyak. Sangat banyak. Karena konsep kemajuan eksploitatif meminggirkan mereka, maka suara-suara mereka diberangus dan nama-nama mereka kerap hilang dengan sendirinya.
Memikirkan Benediktus sebagai korban sistem kemajuan yang eksploitatif sudah cukup memusingkan kepala Nadi. Sungguh ganas cara kerja dunia ini. Manusia memakan manusia yang lain. Ketidakberdayaan tak bisa diapa-apakan. Hendak dilawan, justru jadi bumerang. Sedemikian raksasa kah tangan kapitalis mencekam?