Di suatu malam, Nadi tak mampu lagi menahan raungan rasa sakit. Sendiri di kamar, ia betul-betul merasa sebatang kara. Dorongan sakitnya sukma membanjiri sekujur tubuh. Ia bersikeras mencegah liris perasaan. Tidak, aku tidak diciptakan untuk hal remeh-temeh begini. Patah hati itu sebuah lelucon, heh. Kenapa harus ditangisi? Tertawa saja. Tertawa saja.
Tetapi, ia tak berdaya menentang ketidakberdayaannya. Ia adalah manusia dengan kodrat yang bersedih pada teruknya sebuah kehilangan. Pikiran angkuh kelelakiannya tak berguna.
Samar-samar suara Puhtir bergaung di telinganya.
“Apakah bayi kelempiau itu masih hidup?” tanya Puhtir. Mereka berdua ketika itu tengah berjalan di bawah naungan renyai gerimis ke rumah Herman. Herman menemukan seekor kelempiau betina yang nahas namun masih bernapas, di bantaran sungai dekat hutan. Tangan kanan kelempiau tersebut patah tak diketahui pasti apa penyebabnya. Herman membawanya pulang dengan tujuan mengobatinya. Di rumah istri Herman memekik, “Kelempiau itu bunting! Barangkali besok melahirkan.”
Saat kabar itu tersebar ke seantero kampung, Puhtir bergegas mengajak Nadi yang sedang di Sakai entah untuk kali ke berapa ikut ke rumah Herman. Puhtir ingin sekali melihat bagaimana kelempiau melahirkan.
“Bagaimana induknya? Aku yakin Pak Herman sudah mengobatinya. Tapi siapkah induknya melahirkan kalau masih sakit?” tanya Puhtir penuh rasa khawatir.
Nadi mencoba menenangkan, “Pasti induknya masih hidup. Kalau sudah mati, kita pasti sudah dengar kabarnya.”
“Mungkin dia tidak mati, tetapi masih sakit. Sekarang, lagi mau melahirkan. Sakit karena tangannya patah dan sakit karena mau melahirkan. Bisa jadi dia mati waktu melahirkan,” balas Puhtir.
“Kalau memang begitu, lebih baik tidak dilihat langsung.”
“Seandainya induknya mati dan anaknya hidup? Kasihan anaknya. Harus ada yang merawat anaknya. Pasti dia trauma kehilangan ibu.”
“Bayi kelempiau bisa trauma begitu?”
“Mana kutahu! Aku bukan kelempiau.”
“Kau yang bilang bayi itu pasti trauma.”