Santo tengah terkapar di sebuah bangsal di rumah sakit kota. Sudah lima hari ia begitu. Segalanya terasa berjalan pelan dan menderit-derit bagi Santo. Di hari keenam, ia paksakan dirinya untuk bangun dan duduk bersandar. Matanya terjaga sejak subuh. Hasrat untuk kembali terlelap sama sekali sirna ketika seorang pembersih ruangan masuk ke bangsal, menyapu dan mengepel dengan wajah yang murung.
“Senyumlah, Nak. Pagi seperti ini kenapa mukamu mengerut begitu?” tegur Santo.
Pemuda tukang bersih yang ditegur, menoleh sejenak pada Santo, lalu keluar tanpa menerima saran Santo. Sama sekali tidak ada garis senyum di wajahnya. Ini membuat Santo kesal, dan kekesalannya menyebar ke seluruh tubuhnya, bagai benih-bening ilalang di musim hujan bulan Desember. Hanya butuh waktu sekejap untuk tumbuh menjadi semak-semak.
Ia cukup terpukul dengan sakitnya ini, entah istilah apa yang tepat untuk sakit semacam ini. Sudah terlalu banyak. Komplikasi, kata dokter, ia terlampau banyak pikiran. Stress. Edan. Depresi. Dan walau istrinya tercinta senantiasa menemani di bangsal, sejak pagi hingga petang, kasih sayang sang istri tidak juga membantunya. Malam hari, anak bungsunya yang langsung mudik dari Surabaya setelah mendengar kabar penyakit si bapak, Tomas, gantian melayani Santo. Kasihan si anak, pikir Santo, waktu hidupnya menjadi sia-sia karena harus menemani aku yang terkapar seperti ini.
Menyalahkan diri sendiri bagian dari depresi, kata dokter. Santo ingin mendebatnya ketika dokter menyatakan itu. Menyalahkan diri sendiri adalah bagian dari moral, Pak Dokter! Tetapi, apa daya, tidak ada lagi energi tersisa dalam dirinya. Sekarang ia hanya bisa mengasihani istrinya, anaknya, juga dirinya sendiri.
Jam menunjukkan tepat pukul enam. Fajar sudah menyingsing. Terdengar tapak-tapak kaki melangkah di lorong bangsal. Santo memaksa diri untuk bangkit. Ia tidak ingin membangunkan anaknya yang masih terlelap. Semalaman anak itu berjaga karena Santo meraung-raung, mengigau. Santo sendiri lupa apa yang ia impikan, tetapi ia sempat terbangun saat tangannya dihentak-hentak si anak.
Dengan tangan kiri diinfus dan tangan kanan memegang botol infus, Santo turun dari tempat tidurnya. Ia mengenakan sandal, berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi, menunaikan hajat kecilnya, lalu melangkah ke pintu bangsal. Di pintu bangsal, ia membaca “tata cara membasuh tangan” dan “cucilah tangan setelah keluar kamar inap”.
Huh, sedemikian berpenyakitan kah aku ini? orang-orang yang datang mengunjungiku harus mencuci tangan mereka setelah menjenguk? Membersihkan diri dari segala macam kemungkinan najis penyakit yang aku tularkan kepada mereka? Sedemikian hinakah menjadi pasien? Jika memang hal itu penting, kenapa mereka tidak meletakkan pengumuman itu di pintu masuk pengunjung, sehingga pasien tidak perlu melihat hal ini, lantas berpikir sinis seperti aku ini? Omong kosong belaka bahwa hidup yang sehat diawali pikiran yang sehat, sementara mereka melakukan kekonyolan ini.
Santo mengalihkan pikiran sinis itu, dan mencoba berpikir hal-hal yang membahagiakan. Adakah sesuatu yang bisa membuatnya gembira di rumah orang sakit? Ia bisa saja menertawakan para pasien lain. Mungkin di antara mereka, ada yang tidak bisa kentut, yang tidak bisa menutup mulutnya karena terlalu lebar tertawa, atau yang juga seperti dirinya; stress. Buat apa stress, padahal hidup adalah permainan dan senda gurau belaka. Seorang teman mengatakan itu, dan ia setuju. Tapi, sekarang inilah dia. Terkapar karena stress.
Santo memutuskan menyusuri lorong bangsal dan keluar dari bangunan. Aroma karbol sudah lama memapar hidungnya dan ia merindukan udara yang segar. Pintu keluar bangsal langsung berhadapan dengan area taman rumah sakit. Di sana, pasien-pasien dengan tangan diinfus, ditemani dengan kerabat atau suster, atau seorang diri saja, telah menempati bangku-bangku taman yang ada. Santo mencari bangku yang kosong di dekatnya. Tidak ia temukan. Cahaya pagi mungkin baik bagi kesehatan tubuh dan jiwa, memberi harapan pada umur panjang. Orang-orang di taman pasti berpikir demikian, dan sebab itu mereka tidak menyia-nyiakan suasana pagi.
Satu bangku panjang hanya diduduki seorang perempuan. Santo memilih duduk di sana.
“Kosong, Bu?” Santo berbasa-basi.
Si ibu mengangguk, menggeser duduknya, meski hal itu tidak perlu dilakukan karena posisi duduk si ibu sudah sangat di ujung bangku.
Santo duduk di ujung yang berseberangan. Ia kembali hanyut pada alur pikirannya, masih berusaha mencari hal-hal yang membahagiakan. Perhatiannya beredar ke seluruh penjuru taman, dan secara otomatis monolog terjadi di dalam kepalanya, mengomentari apa saja yang terpandang oleh mata.