DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #91

"Bapak Tidak Sendiri" #91

Pulang ke ruang inapnya, Santo masih terimbas percakapannya dengan pasien yang ia tidak tanyakan namanya. Berapa jumlah penyakit yang ada di dunia ini? Ribuan? Ratusan ribu? Jutaan? Belum lagi ditambah penyakit jiwa!. Ia bercermin pada dirinya sendiri. Kukatakan untuk tidak putus asa. Ia masih muda! Dan aku sendiri? Memang sudah tua, tapi apa wajar berputus asa?

Pikirannya melebar ke mana-mana. Berkecamuk sedemikian rupa. Autoimun itu seperti penyakit di negara ini saja, di dunia ini juga. Yang semestinya menjaga, justru menyerang. Yang semestinya membenahi, justru merusak. Yang semestinya mengobati, justru menyakiti. Penjajahan diam-diam lebih keji dari penjajahan terbuka. Dalam penjajahan terbuka, orang tahu yang dilawan. Dalam penjajahan diam-diam, orang serba salah. Melawan terbuka, jadinya lebih sengsara. Melawan secara diam, jadinya tak bersuara. Tidak melawan, dipermainkan. Huh.

Siang itu, Santo hanya makan sedikit seperti biasa. Dokter yang saban hari mengunjunginya, secara gamblang menyatakan tidak banyak kemajuan dalam kesehatan Santo. Santo bersikeras untuk pulang. Ia bosan dengan bau karbol, bosan berbaring sepanjang hari, bosan melihat petugas kebersihan dengan wajah merengut.

Si dokter, pria tua dengan jenggot putih dan mata besar, balas menghardiknya. Santo memang pasien yang tidak bisa ditanggulangi dengan bahasa lemah lembut.  “Boleh saja, Pak, hari ini pulang. Tapi saya bisa jamin, dua hari lagi bapak kembali ke sini.”

Jika Santo tidak sakit, jika yang dirawat bukan dirinya, ia akan dengan senang hati meladeni ancaman itu. Ia menghargai ilmu pengetahuan, termasuk kedokteran, tetapi tidak suka jika seseorang bersikap seolah-olah tahu masa depan orang lain. Cenayang dalam jubah putih. Usia kamu enam bulan lagi. Dia akan cacat seumur hidup. Kalimat-kalimat semacam itu Santo benci untuk didengar. Kenapa dokter tidak menitikberatkan diagnosisnya untuk mencarikan jalan keluar ketimbang memvonis? Memang tidak semua seperti itu, tetapi tidak sedikit yang seperti itu. Dan sekarang, dokter dihadapannya ini menjamin ia akan kembali ke rumah sakit dalam dua hari!

“Tensi darah bapak masih sangat tinggi. Gula darah tinggi. Kolesterol tinggi. Masih sering sesak juga. Dimakan atau tidak obatnya? Bapak juga masih banyak pikiran.”

Tebakan itu betul. Santo tidak disiplin melahap obat yang diberikan. Ia juga merasa kepalanya dibebani banyak hal, yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya, bagaimana mengurainya, bagaimana mengusirnya.

Badan lemah lesu membuat Santo tidak lagi memiliki energi berlebih untuk berdebat. Ia terpaksa menerima kenyataan masih harus terbaring di ruang inap. Dokter menaikan dosis obat. Obat minum maupun yang masuk lewat infus.

Santo tak berdaya.

Sehabis makan siang, ia kesulitan untuk tidur. Ia merindukan rumahnya dengan rasa gelisah. Tidakkah semestinya seorang dokter tahu bahwa pengobatan bukan hanya bisa dilakukan dengan cara meminum pil dan diinfus. Faktor suasana juga menentukan. Huh!

Lihat selengkapnya