DANUM

Abroorza Ahmad Yusra
Chapter #92

Ia Kembali ke Danum-Nya #92

Tidak lama setelah rombongan Yayasan W undur diri, datang Nadi. Santo menyambutnya dengan ceria, imbas dari hati yang tenang dan gelisah yang berkurang.

Mereka bercakap-cakap ringan. Nadi bertanya tentang kabar kebun kelapa di Kakap. Santo berjanji akan mengajak Nadi menginap di pondok kebun kelapanya bila sudah sembuh, mengajari anak muda ini cara membuat minyak kelapa, mengajari bagaimana mengolah kopra. Nadi senang. Lebih senang lagi karena melihat semangat Santo yang masih membara, seolah tidak peduli penyakit-penyakit yang menjerumuskannya ke ruang inap di rumah sakit.

Tetapi karena Nadi telah memutuskan untuk meninggalkan Pontianak dalam waktu dekat, terpaksa ia menolak tawaran Santo. Santo kecewa, dan bertanya alasan Nadi.

“Tidak ada alasan yang tepat, Pak. Hanya sedang ingin cari pengalaman baru saja.”

Penjelasan Nadi tidak diterima begitu saja oleh Santo. Langsung Santo menyasar inti masalah.

“Karena Puhtir?”

“Eh…” Nadi tidak dapat mengiyakan. Tetapi raut wajahnya spontan berubah. Pandangan matanya lari ke mana-mana, tak mampu berpandangan langsung dengan Santo. Meski keikhlasan sudah mengisi hatinya, tetap saja, mendengar nama Puhtir, ada rangsangan sengsara yang mengemuka. Nadi hanya bisa tersenyum ironis. Santo pasti telah tahu kalau Puhtir sama sekali tidak bisa ditemukan atau dihubungi.

Santo memperhatikan wajah Nadi dengan seksama, lalu berkata, “Maaf nak. Kupikir-pikir, apa yang terjadi di Sakai, salah saya. Puhtir memang begitu kehilangan Nek Ga, tetapi kematian Rupung, pertengkaran saya dan Bens, tambah memperumit pikirannya.” Santo diam sejenak, kemudian melanjutkan, “Dia hanya perempuan muda yang ingin hidup damai. Saya yakin, pada harinya nanti, ia akan kembali.”

Nadi mengangguk-angguk, berupaya setuju dengan keyakinan Santo. “Jangan Pak Santo menyalahkan diri. Semua yang terjadi, sudahlah,” balas Nadi. Ia lantas teringat pesan Benediktus. Nadi kemudian bercerita tentang kunjungannya ke lapas tempat Benediktus berada.

“Pak Bens ingin sekali bertemu dengan Pak Santo. Dia ingin meminta maaf.”

Santo tergamang. Lama. Pandangannya tidak jernih, terselubungi binar air mata yang tertahan tumpah. Istri Santo duduk di dekat Santo. Nadi bimbang dengan caranya menyampaikan pesan Benediktus. Apakah justru membuat Santo lebih buruk.

“Dia tidak bersalah. Saya yang seharusnya meminta maaf. Saya terlalu emosi, sampai-sampai, Umang meninggal pun saya tak datang,” ucap Santo akhirnya.

Nadi mendekat dan berusaha memperbaiki keadaan, “Tidak ada yang salah Pak. Tidak. Pak Bens juga berpikir ia yang salah.”

Lihat selengkapnya