Tahun 2023
“Mas Radit, tolong tetap di sini dulu. Tolong jelaskan, apa yang terjadi padaku? Mengapa aku bisa begini. Apa yang terjadi pada keadaanku? Bicaralah, Mas,” tanyaku, padanya.
Dia mendatangiku, lalu pergi tanpa sepatah kata. Senyumannya tetap sama, binar mata itu masih sama ketika dia mencintaiku. Kabut putih lalu mengerumuni tubuhnya yang gagah itu.
Wajahnya lebih tampan daripada waktu pertama kali saat jadi pengantin pria bersanding di sebelahku. Lamat-lamat kabut mengaburkan pandangan, sosoknya lambat laun menghilang, aku terperanjat dan sadar.
Serta-merta kucari di antara kabut tipis, tapi perlahan terisap oleh sudut waktu yang tidak bisa dijelaskan. Sambil memanggil namanya. Namun, dia sudah menghilang dari pandangan. Tertinggal sebuah buku di tanganku. Ini … Buku catatan Mas Radit?
***
Dering alarm berbunyi. Mataku mengerjap lalu terbuka. Aku langsung bangun dan menarik napas panjang. Pukul empat pagi. Semalam aku mimpi tentang Mas Radit, ini yang ketiga kalinya. Suamiku sudah meninggal dunia kurang lebih empat puluh empat tahun lalu.
Aku janda beranak satu, menjalani hidup berpindah-pindah tempat tinggal sejak usia anakku sepuluh tahun. Sekarang, usia anakku empat puluh empat tahun. Akhirnya aku menetap tinggal agak jauh dari penduduk. Ada alasan mengapa harus berpindah-pindah tempat, dan terdengar tidak logis.
Semua bermula ketika anakku berumur sepuluh tahun. Aku menyadari wajah dan tubuh ini tidak berubah dan menusia sedikit pun. Masih ramping, rambut tetap hitam, persis di usia dua puluh tahun lalu.
“Wajahnya Neng tidak berubah sama sekali. Padahal anaknya sudah besar,” ujar salah satu tetangga lamaku keheranan.
“Saya baru kenal Neng pertama kali ikut Pak Radit. Masih muda, tapi badan dan wajahnya masih sama. Perawatan salon, ya?” Mendengar itu, aku bingung jawab apa. Sementara, dari anakku lahir sampai tumbuh besar, aku tidak sempat untuk merawat wajah, merawat tubuh, apalagi pergi ke salon. Buang-buang uang, mengingat penghasilan tak seberapa dari jualan kue keliling.
Sejak suamiku meninggal dunia, urusan kebutuhan sehari-hari kian bertambah dan aku hanya ditinggali rumah dan sisa perhiasan dari Bu Ratna. Satu, dua, tiga tahun, satu persatu perhiasan itu terjual. Dua toko milik Bu Ratna sudah terjual karena bangkrut dan kebakaran.
Sampai pembantu setia kami, Bibi Santi, tidak bisa kubayar upahnya selama tiga bulan. Namun, dia tetap ingin tinggal bersamaku di rumah besar itu. Bi Santi sudah dua puluh tahun bekerja pada keluarga suamiku.
Tepat usia anakku satu tahun, ibu Mas Radit meninggal dunia karena sakit tua. Sejak itulah aku tinggal bersama Bi Santi. Sementara keluarga kandungku tidak pernah menemuiku, sampai saat ini aku tidak tahu alasannya.