12 Januari 1979.
Tinggal dua hari lagi terhitung dari sekarang. Aku akan dinikahkan dengan seseorang yang tidak kukenal. Bapak bilang dia terpaksa melakukan itu padaku karena harus melunasi utang-utangnya pada perempuan tua kaya bernama Ratnasari. Punya anak semata wayang laki-laki. Selentingan yang kudengar, perempuan tua itu ingin mematahkan rumor yang telanjur tersebar di pinggiran kota, bahwa anak laki-lakinya penyuka sesama jenis. Mendengarnya saja aku berat hati dan tidak nyaman. Aku hampir membenci Bapak.
Kemudian terpikirkan dibenak ini, apa aku cuma ditumbalkan agar utang-utang bapakku lunas? Atau memang sudah takdirku menikah dengan laki-laki yang digosipkan orang-orang punya kelainan? Meski belum tentu benar, toh menikah tanpa cinta akan menyiksa, bukan?
“Bapak mohon, Wita. Kamu harus menerima keputusan ini. Usiamu juga sudah bisa menikah dan membina rumah tangga,” desaknya tanpa melihat wajahku.
“Aku sebenarnya ingin sekolah lagi. Aku mau ke Jakarta, kerja di sana. Aku akan lunasi utang-utang Bapak dari bekerja. Tidak dengan begini,” keluhku sambil menatap wajahnya.
Bapak tidak menggubris, dia tetap keras dan dingin. Dia berkata lagi dan aku tidak bisa melawan perkataannya, “Kalau kamu tidak mau, kamu tidak akan pernah melihat Bapak lagi.”
Aku mematung menelan ludah, serasa jarum-jarum menghujani dada dan kepala, itu bukan lagi perkataan wajar tapi seperti ancaman, bagai buah simalakama.
“Wawan dengar perkataan Bapak tadi, Mbak Wita akan dinikahkan, ya? Kelihatannya Mbak juga tidak senang?” tanya Wawan tiba-tiba muncul dari bilik selepas Bapak pergi ke luar.
Barusan kulihat Wawan mengintip dari balik bilik. Kutatap wajahnya, guratan resah tergambar pada anak itu, karena kabar tidak menyenangkan dari kakaknya. Meski umurnya baru sepuluh tahun, dia mungkin sudah mengerti apa yang baru saja kami bicarakan.
Aku menarik napas mendengar perkataan adikku yang mengkhawatirkan kakaknya ini.
“Sebenarnya iya, Wan, dua hari lagi Mbak akan menikah.”