DARA, Kutukan atau Anugerah.

Rosi Ochiemuh
Chapter #3

Bertamu

Juli, 2023


Aroma kopi hitam seduh tercium, sungguh menggoda. Sayangnya aku tidak bisa minum kopi hitam. Kenangan puluhan tahun lalu terbayang saat Mas Radit pertama kalinya kubuatkan secangkir kopi hitam manis. Pada malam pertama waktu itu. Semakin hari kusadari suamiku sosok yang menyedihkan. Diam-diam kuperhatikan tiap saat segala gerak-geriknya, dan semua kehidupannya terasa hampa. Bahkan dia tidak punya teman satu pun diusia sematang itu.

Bagaimanapun dia anak semata wayang yang kesepian. Salah satu orang yang selalu diajaknya bicara adalah Bi Santi. Pembantu rumah tangga yang bekerja lama pada keluarganya. Ketika baru pertama tinggal di rumah itu, aku bertanya-tanya dalam benak tentang latar belakang Bu Ratna yang kini jadi mertuaku. Berapa usia Bu Ratna sebenarnya? Dia terlihat sudah sepuh dengan usia anaknya lebih tua lima tahun dariku. Apakah Mas Radit bukan anaknya, melainkan cucunya? 

Namun, Bi Santi bilang Bu Ratna itu memang ibunya Mas Radit. Selama aku tinggal di rumah itu, belum pernah melihat foto keluarga yang ada bapaknya Mas Radit. Satu pun tidak, bahkan dalam album foto keluarga mereka.

Hari ini aku sedang bertandang di rumah salah satu pelangganku bernama Bu Endah. Dia sangat suka jahitan baju yang kubuat. Sudah enam bulan dia minta dijahitkan baju padaku, baju gamis.

Kata Bu Endah yang kabarnya sudah ke tanah suci lima tahun lalu, dia bilang suaminya suka gamis jahitanku yang modelnya tidak pasaran, dan tetap menutup aurat sempurna. Kadang dia mengambil jahitan langsung ke rumahku. Dikarenakan akhir-akhir ini dia sibuk jadi pemateri di berbagai pengajian remaja, kuantarkan saja. 

Bu Endah menyuguhkan secangkir kopi untuk suaminya yang terlihat dari samping ruang keluarga sedang baca koran. Selepas itu dia mengantarkan secangkir teh manis hangat di atas meja tepatnya di hadapanku duduk dalam ruang depan.

“Aduh, Bu Endah, jangan repot-repot. Saya hanya mengantarkan pesanan baju,” ucapku tiba-tiba. 

Dia tersenyum santai seperti biasa.

“Tidak apa-apa, Bu Dara. Minum dulu saja, ngobrol sebentar. Saya senang kedatangan tamu. Apalagi Bu Dara sudah saya anggap teman. Sudah lama saya berharap Bu Dara main ke rumah saya,” balasnya sembari membenarkan posisi duduk.

“Oh iya, Bu. Tiga hari kemarin, saya kedatangan tamu. Pemuda tanggung, dia minta dibuatkan pesanan baju seragam grup marawis. Namanya Idris. Dia bilang anaknya Bu Endah,” ujarku memulai obrolan. Dia mengerlingkan mata dengan senyum yang masih sama.

Lihat selengkapnya