DARA, Kutukan atau Anugerah.

Rosi Ochiemuh
Chapter #4

Malam Pertama


14 Januari 1979.

Pukul tujuh malam. Bapak dan Wawan pamit. Mereka mau pulang, dan mengucapkan selamat berbahagia. 

“Wita, selamat berbahagia. Bapak berharap ke depannya hidupmu dapat banyak kebahagiaan di rumah ini. Terutama dari suamimu,” ucap bapakku. Kedua matanya berkaca-kaca. Meski aku sebenarnya tidak suka dengan pernikahan ini. Bisa kurasakan perasaan takut kehilangan putri satu-satunya dari tatapan mata itu.

“Mbak Wita. Wawan ucapkan selamat menempuh hidup baru. Maafkan Wawan, belum bisa ngasih kado buat Mbak dan Mas Radit. Semoga Mbak bahagia,” ucap Wawan, lalu dia memelukku dan langsung menangis. 

Aku pun tak bisa menahannya. Kutumpahkan air mata dalam pelukan adikku itu. Adikku yang sejak kecil kurawat dengan baik. 

Bapak lalu mendeham, tanda bahwa kami tidak boleh berlama-lama menangis. Pelan-pelan kulepas pelukan Wawan. Kucium kepalanya cepat dan kuusap. Wajahnya murung. Pasti dia sangat kehilangan kakaknya ini.

Sambil sesenggukan, Wawan berkata lagi, “Pak, kapan-kapan kita boleh jenguk Mbak Wita, kan?” Bapakku mengangguk, lalu wajahnya kembali dingin. Aku tahu, dia pun menahan tangis. 

Bapak berpamitan pula pada Bu Ratna dan Mas Radit. Bu Ratna menyuruh sopirnya untuk mengantarkan mereka sampai ke rumah. Aku lega, mertuaku baik juga. Jarak rumah ini dengan rumahku terbilang jauh. Melewati perkebunan sawit dan pasar tradisional. Jika menaiki angkutan umum tidak mungkin di malam ini, karena dibatasi sampai pukul enam sore.

Malam pertama masih berpakaian pengantin, aku duduk sendirian di sofa panjang dalam kamar besar tuan muda rumah ini. Sepuluh menit kemudian, Mas Radit masuk ke dalam kamar dan dia sudah berganti pakaian. Tercium aroma wangi sabun mandi dan cologne dari tubuhnya. Aku kebingungan, canggung.

Rasanya ingin mandi juga dan ganti pakaian, tetapi malu ada Mas Radit. Tas besar berisi baju-bajuku yang tidak banyak itu masih teronggok di samping pintu kamarnya. Ini bukan kamarku, tidak boleh sembarangan memasukkan baju-bajuku ke dalam lemarinya. Kubiarkan dulu, sampai dia mengizinkan. Merasa asing di rumahnya, dalam kamar ini. 

“Namamu, Wita, kan? Sekarang kita sudah jadi suami-istri. Maaf, kalau saya dingin dan diam di depanmu. Jika kamu keberatan saya di sini, saya akan tidur di ruang tamu,” sapanya panjang lebar. Aku kaget. Jika dia tidur di luar, kalau dilihat sama Bu Ratna, beliau pasti memarahiku. 

“Iya, Mas. Eh, maksudnya jangan tidur di luar. Mas Radit tidur di ranjang. Biar saya tidur di sofa panjang ini saja,” ujarku gugup sembari mengelus sofa panjang warna cokelat yang kududuki. 

Tubuh ini rasanya makin berkeringat banyak. Aku bingung untuk menyuruhnya keluar dulu agar bisa ganti baju. 

Lihat selengkapnya