19 Januari 1979
Hari ke sekian aku berstatus istri orang. Menjalankan tugas sebagai istri yang mengurus keperluan suami sehari-hari dan sewajarnya. Kami masih tidur terpisah. Ketika dia bilang bahwa aku tidak boleh lagi memakai bajuku yang lama. Benar saja, pukul empat sore Mas Radit pulang dari toko, aku terhenyak karena dia membawa dua kantong belanjaan di tangan kanan-kirinya ke dalam kamar. Langsung kusambut bawaannya itu, kuletakkan di samping tempat tidur.
“Wita, dua kantong itu baju-baju baru untuk kamu. Aku membawanya sebagai bentuk promosi juga kalau kamu pakai, kalau dilihat tamu kita. Sebenarnya itu baju-baju yang kita jual di toko butik satunya. Butik Ibu, bajunya dari kain bermutu, harganya mahal,” terangnya, sembari melonggarkan ikatan dasi yang dilepas lalu diberikan padaku.
“Banyak sekali bajunya. Terima kasih Mas Radit,” ucapku kaku. Kedua mata terpaku pada dua kantong belanjaan itu.
“Baju-baju saya sebetulnya masih layak pakai. Baju lama saya, boleh dipakai lagi, tidak?” tanyaku kemudian.
“Bajunya sumbangkan saja pada orang tidak mampu. Mereka pasti menerima dengan senang hati. Jangan lupa, kamu pakai baju yang saya bawa itu,” jawabnya tegas.
Mas Radit perhatian sekali, pikirku. Pertama kalinya aku dibelikan baju sama orang lain, sampai dua kantong besar. Mungkin dia malu jika istrinya berpenampilan jelek.
Lantas dia langsung ke kamar mandi. Lekas aku ambilkan baju yang dia minta di lemari. Katanya ingin pakai kaus berkerah warna putih garis-garis horizontal, dan celana training warna hitam pinggiran bergaris merah.
Aku ke luar dari kamar untuk ke dapur membuat secangkir kopi hitam manis. Ternyata di dapur ada Bi Santi yang akan memasak makan malam. Terlihat ada beberapa potong daging ayam negeri yang sudah dicuci, kentang, dan wortel. Daun seledri, tomat, daun bawang, bawang-bawangan, sayuran selada, dan kembang kol.
“Bibi, boleh saya bantu masak jika saya sudah buat kopi Mas Radit?” tegurku memerhatikan dia merajang daun bawang.
“Jangan, Neng. Biar Bibi saja. Cuma masak sup ayam, lho,” jawabnya. Sembari merajang daun bawang, lanjut ke seledri, selepas itu mengupas bawang-bawang secukupnya. Terampil sekali tangannya memasak.
“Oh, ya sudah kalau begitu. Saya sebenarnya bosan rutinitasnya begini saja,” celetukku sedikit kecewa.
Bi Santi malah tertawa kecil lalu tersenyum, menoleh, “Neng, nikmati saja waktunya bersama Mas Radit. Jangan bosan meski tidak melakukan pekerjaan rumah. Bibi tahu kalau Neng sudah terbiasa masak, beres-beres, dan kerja apa saja kalau di rumahnya dulu. Coba Neng baca buku-buku di rak ruang tamu. Banyak buku koleksi Bu Ratna sama Mas Radit. Belajar merajut, menyulam, menjahit, juga menyenangkan, Neng,” ujarnya memberi saran.