DARA, Kutukan atau Anugerah.

Rosi Ochiemuh
Chapter #9

Menelusur

Juli, 2023

Dua hari terlewat dari kegalauan yang kambuh. Selepas itu, kuberwudu dan salat malam.

Ketenangan datang menyentuh, kerinduan yang semu perlahan terkikis. Pertanyaan dalam hati berulang, apakah kematianku akan datang pada keadaan yang masih seperti ini? Doa-doaku selama ini belum juga terjawab. Kebenaran tentang mengapa aku tidak menua?

Teman-teman sebayaku saat ini mungkin sudah ada yang meninggal dunia, atau sedang menikmati masa menua dengan alami. Sesuai kodrat manusia. Aku pernah mendengar keluhan orang tua. Mereka mengeluh mengapa menjadi tua? Padahal tanda-tanda menua adalah cara Tuhan untuk menyadarkan kita, ajal bisa datang kapan saja.

Bahwa tanda itu seharusnya menjadikan diri waspada dan berjuang dalam kehidupan dengan taat pada perintah Tuhan. Memperbanyak amal kebajikan, mempersempit berbuat dosa kecil dan besar. Allah Subhanahuwata'ala sangat adil, bukan?

Kebanyakan manusia jika datang tanda-tanda menua, mereka selalu berdalih bahwa masih bisa bertingkah laku semasa muda. Adalagi yang merasa; tua tidak membatasi kebebasan berekpresi, berkarya, tapi ada juga yang kebablasan. Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi kalap. Aku iri pada mereka yang bisa menua.

“Ibu, jangan takut, apalagi bersedih. Mala senang Ibu tetap begini, meski Mala dan Ibu terlihat sebaya. Hebatnya Ibu, meski tidak bisa tua. Namun, masih menjaga norma-norma agama dan susila. Jika Mala seperti Ibu, Mala akan memanfaatkannya,” ujar Nirmala menghiburku, waktu itu saat dia berusia dua puluh tahun setelah mengetahui kondisiku yang sebenarnya.

Malam berikutnya, aku membuka kembali buku catatan Mas Radit. Melanjutkan bacaan pada lembaran berikutnya. Seakan tengah memeriksa hati seseorang, melalui buku catatan harian yang sekarang berada di tanganku.


20 Januari 1979 … Makan malam waktu itu membuatku tersedak. Ucapan Ibu kepada gadis itu, mirip ancaman. Bagaimana ini? Aku belum siap untuk menyentuhnya apalagi campur dengannya.

Aku tidak menginginkan pernikahan. Meski orang-orang bilang aku laki-laki tidak normal, karena tidak pernah terlihat kencan sama perempuan dan tidak merokok. Sebetulnya aku normal. Aku masih suka perempuan. Tidak kugubris perkataan mereka. Baik itu hinaan, sindiran atau lainnya. Tidak penting sama sekali. Selama aku bisa kelola dengan lancar bisnis mendiang kakek, hidupku baik-baik saja. 

Usai makan malam aku masuk ke kamar dan duduk di sofa. Dia pun sama, melakukan kebiasaan baik, bersembahyang. Sedikit kagum pada gadis ini, dia taat pada perintah agama. Entah apakah karena dia tinggal di rumah ini saja, atau memang sudah kebiasaannya sejak dulu?

Aku belum membahas perkataan Ibu tentang itu pada gadis ini, aku mendiamkannya dulu. Lama-lama juga berlalu dan Ibu akan melupakannya. 

Lihat selengkapnya