27 Januari 1979.
Hujan turun pagi ini, aku sudah menyiapkan kebutuhan Mas Radit untuk berangkat kerja. Pagi yang dingin dan menggigil. Setelah malam kondangan dua hari lalu, sepulang dari sana rasanya aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku dan Mas Radit. Kami makin canggung saat bertatap muka.
Waktu itu, aku langsung ke kamar mandi untuk ganti pakaian dengan pergelangan kaki yang masih sakit. Terlihat raut wajahnya mengkhawatirkan aku.
“Sudah saya bilang, kalau pergelangan kakinya belum sembuh jangan dipaksa. Saya akan bantu,” ucapnya waktu itu, sembari melepas jas mirip rompi, yang dia pakai.
Kujawab tidak mengapa. Bisa sendiri melakukannya. Terdengar dia mendengkus. Entah kesal, atau menggerutu padaku.
Pagi ini, terlihat Mas Radit bersandar pada tembok memandangi hujan dari balik jendala kamar. Belum berangkat ke tokonya. Mungkin menunggu hujan reda.
“Hujan kok pagi-pagi sekali,” gerutunya terdengar mengambang.
“Perlengkapannya sudah disiapkan, Mas,” ujarku tanpa menanggapi gerutunya.
“Rasanya kok malas ke toko kalau hujan begini, lebih baik di rumah saja rebahan,” decaknya. “Oh, iya Wita. Terima kasih,” lanjutnya menyahut ketika aku lewat.
Matanya beralih memandangku.
Entah ada apa yang aneh padaku. Mas Radit memandangku lama. Seperti baru bertemu sesuatu yang tak biasa.
“Eh, ada apa Mas Radit? Apa ada yang salah?” tanyaku segera dan berbalik melihatnya.
Dia menggaruk alis lalu mendeham sejenak. “Tidak, tidak apa-apa. Kakimu sudah baikan bukan?”
“Iya, Mas. Alhamdulillah sudah bisa jalan,” jawabku.
“Hari ini kamu banyak pekerjaan tidak?” tanyanya lagi. Mataku membulat.
“Ada sih, mau bantu Bi Santi masak dan buat camilan lagi. Terus sudah itu saya mau beres-beres kamar, menyetrika baju-baju,” jawabku.