27 Januari, 1979
Hujan masih berguyuran pagi ini. Pertanyaan Mas Radit serasa mengambang bersama suara air hujan di telingaku.
“Sebelum kamu menikah denganku. Apa pernah ada lelaki lain yang kamu sukai?” Dia bertanya.
Aku diam, tapi jari telunjuk mengetuk-ngetuk pada cangkir teh yang airnya tinggal sedikit lagi habis.
“Kok, tidak dijawab pertanyaanku? Apa memang pernah ada?” cetusnya memecah kebiusan kami sebentar.
Kutarik napas, ingin jawab seadanya tapi takut dicibir karena betapa kolotnya aku. Belum pernah sedikit pun menyukai pria dewasa. Bahkan sewaktu remaja, rutinitas dulu di sekolah jadi pelajar yang selalu belajar dan di rumah hanya mengurus Bapak dan Wawan saja.
“Belum pernah. Suka hanya sebatas teman saja waktu di sekolah. Aku di sekolah selalu belajar sesudah itu seperti biasa mengurus Wawan dan Bapak, sehingga tidak sempat untuk hal yang tidak penting,” jawabku apa adanya.
Dia lalu tertawa setelah mendengar penuturanku.
“Kamu gadis polos atau kolot, sih. Waktu aku masih remaja, teman gadisku banyak. Dan yang naksir aku juga banyak," ujarnya, terkekeh lagi.
Pengakuannya terdengar naif dan sombong sekali.
“Oh begitu … Kali ini aku yang bertanya, Mas. Mengapa Mas mau dijodohkan sama aku, gadis miskin polos yang tidak punya pergaulan ini?” sindirku, seketika raut mukanya pun beubah diam.
“Walah... Kamu ternyata bisa juga menyindir. Aku juga tidak mengerti mengapa kuterima perjodohan ini. Sebetulnya aku tidak mau menikah dengan gadis manapun. Ada hal yang nanti kamu akan tahu mengapa Ibu menikahkan aku dengan kamu,” jawabnya dingin.
Tatapan matanya berubah seketika, tajam dan menusuk saat dilemparkan ke depan. Senyumnya terasa getir.