DARA, Kutukan atau Anugerah.

Rosi Ochiemuh
Chapter #13

Desiran Hati


Juli 2023


Hari mulai gelap usai senja memudar di ufuk barat. Badan ini sudah cukup untuk bekerja dan waktunya istirahat. Tinggal sendirian itu sebenarnya tidak terlalu banyak pekerjaan tapi sendirian bisa buat pikiran gampang jenuh. Nirmala mulai sibuk dengan pekerjaannya mengajar, meski tidak bertatap muka pun dia harus mengurus nilai dan data-data siswa. 

Sesudah melaksanakan salat Magrib, aku makan malam dengan nasi dan telur dadar. Dimasak dadakan dan praktis buatku yang tinggal sendirian. Aku selalu iri pada mereka yang bisa berkumpul dengan anak dan cucu. Kondisiku yang saat ini tidak bisa memungkinkan untuk tinggal lama bersama keluarga kecil Nirmala. 

Jahitan kubereskan lebih dulu karena aku ingin kembali membaca buku catatan Mas Radit di halaman berikutnya. 

Kuambil bukunya dari balik bantal lalu kubawa. Kali ini aku ingin membacanya di ruang depan sembari bersandar santai di sofa panjang. Mulai kubuka lembaran halaman selanjutnya.


28 januari 1979 ... Pagi tadi kuterkejut mendapati Wita masih rebahan di tempat tidur. Kuhampiri karena tidak biasanya begitu. Serta-merta kusentuh keningnya, ternyata tubuhnya panas, lalu kusentuh juga tangan dan kakinya terasa dingin. Dia beranjak dari tempat tidur, sedikit kaget melihatku yang berdiri di dekatnya.

“Mengapa, Mas?” tanyanya bingung. Aku malah yang bingung, ingin bertanya karena badannya panas dingin.

“Kamu demam, Wita. Apa sejak subuh tadi?” tanyaku dan kusentuh lagi dahinya.

Dia ikutan memegang dahinya dan bilang badannya sedang tidak enak. Baru kali ini aku melihat orang sakit di hadapanku sendiri. Sejak kecil aku tidak pernah sakit demam, begitu juga Ibu sampai sekarang.

Kusuruh Bi Santi mengompresnya, kutelepon dokter langgangan kami untuk memeriksa dan memberi obat pada Wita. Dokter pun datang lalu memeriksa kondisi Wita. Kata dokter, Wita demam, panasnya tiga puluh sembilan derajat celcius. Dokter bilang lagi, Wita baru terkena gejala flu. Dokter bertanya kepadanya, apakah pernah kehujanan sebelumnya? Wita menjawab, dia hanya terkena percikan hujan dan angin waktu duduk di teras kemarin.

Aku pun merasa bersalah karena kemarin pagi ketika hujan turun deras minta ditemaninya duduk di teras depan. Wajah Wita merah, dan kedua matanya berair. Kusuruh dia istrirahat saja dan tidak melakukan kegiatan apa pun, lalu meminta Bi Santi menjaga gadis itu.

Masih terngiang perkataan sadisnya kemarin itu. Aku seperti dibekukan oleh gadis itu. Aku memang naif. Juga munafik, tidak mau menikah dengan gadis manapun tapi kuterima perjodohan ini.

Lihat selengkapnya