15 Februari, 1979
Suasana dingin yang menggigil di malam itu. Aku tidak bisa tidur dan bolak-balik ke kamar mandi buang air kecil. Bogor lebih dingin dari Bandung malam harinya. Mas Radit kulihat masih tidur membelakangi. Malam itu sebenarnya saat dia menggenggam tanganku lama sekali, aku serasa terbang tinggi.
Kemudian dia lepaskan perlahan lalu mengajakku untuk makan malam. Hawa dingin menyergap di antara kami setelah itu. Televisi dimatikan saat kami akan beranjak tidur.
Subuh aku terbangun. Mas Radit sudah tidak ada di tempat tidur. Mungkin di kamar mandi. Benar, suara cipratan air dari kamar mandi.
Beberapa menit berlalu, dia muncul dari kamar mandi dan bilang azan Subuh sudah terdengar dari toak surau. Aku mengangguk lalu menguap, rasanya kantuk masih berkumpul di pelupuk.
“Hei! Sudah Subuh! Lekas mandi dan sembahyang. Biasanya kamu paling rajin daripada aku,” ujarnya memercikkan air minum ke wajahku.
Airnya dingin sekali, mataku mengerjap-ngerjap. Aku terpaksa bangun dan langsung ke kamar mandi. Subuh begini airnya dingin seperti es. Kupaksakan juga mengguyur seluruh air ke tubuh. Bibirku menggigil, dan secepatnya mandi. Mas Radit ternyata sudah salat Subuh. Selanjutnya aku.
Pukul lima lewat tiga puluh menit. “Ayo gegas Wita. Kamu ikut temani aku berjalan-jalan pagi. Udaranya masih bersih dan sehat,” ajak Mas Radit.
Aku dan Mas Radit memakai baju kaus lengan tanggung dan celana training. Dia waktu itu bilang padaku, jika ke Bogor sediakan baju hangat dan panjang karena di sana sangat dingin udaranya.
Lari-lari kecil yang menyenangkan pagi ini. Aku sudah lama tidak melakukannya. Sekarang malah bersama suamiku bisa lari pagi lagi. Dulu aku sering begitu sama Wawan—adikku, usai salat Subuh kami akan berjalan pagi sambil lari kecil mengitari kampung yang masih sepi. Sejak menikah, aku tidak pernah ke mana-mana. Hanya di rumah saja mengurus kebutuhan suami dan menuruti perintahnya.
Kami memandangi matahari terbit dari ufuk timur. Fajar yang sangat indah. Cahaya putih keemasan oranye menyembul ke luar setelah tenggelam begitu lama.
“Kamu bisa juga diajak lari pagi. Aku sudah lama sekali tidak melakukannya,” ujar Mas Radit, napasnya terputus-putus.
“Dulu aku sering lari pagi sama Wawan. Sejak menikah belum pernah lagi,” ucapku berkata apa adanya. Dia tersenyum hambar, lalu menikmati suasana sekitar belakang penginapan.