DARA, Kutukan atau Anugerah.

Rosi Ochiemuh
Chapter #24

Asal Muasal


03 Maret, 1979 


Apa yang terjadi sudah terjadi. Bulan madu yang terlambat itu akhirnya terlaksana di kamar ini. Kuberikan selayaknya apa yang menjadi hak suamiku. Sikap Mas Radit buat aku selalu tersanjung. Dia berubah lebih manis. Senyumnya makin melebar. Itu ketika bertatap muka dengannya. Apabila dia sendirian, kuperhatikan dia muram, pandangannya jauh ke seberang. Bukan langit yang dia pandangi tapi kekosongan nun jauh.

Sepulang dari toko dia segera mandi lalu menyuruhku menemaninya di sofa panjang. Aku duduk di atas sofa, Mas Radit merebahkan tubuhnya ke sofa dan kepalanya disandarkan ke pahaku. Kuikuti saja, apa maunya.

“Wita, aku minta kamu temani disini sebentar sampai waktu Maghrib datang. Tolong dipijat-pijat ringan kepalaku, ya,” pintanya. Terkesiap aku dan kuturuti kemauannya.

Kupijat-pijat pelan kepala suamiku, dia memejamkan mata. Mungkin hari ini kepalanya pusing dan tidak enak badan, atau ada masalah di tokonya.

Mas Radit berdeham, “Terima kasih, ya, sudah meringankan penatku. Pulang ke rumah ini, aku tidak lagi jenuh dan sepi. Ada kamu yang selalu bersamaku, Wita,” godanya, kedua mataku mengerjap.

“Mas Radit sedang tidak enak badan, ya? Kepalanya lagi sakit?” sahutku malah bertanya. Memang aku penasaran karena belum pernah melihat dia begini sejak pertama kali jadi istrinya.

“Sedikit pusing saja. Hari ini luar bisa sibuk dan rumit. Kalau aku minum secangkir kopi malah asam lambung naik dan tensi darahku turun,” ujarnya, kedua matanya merem-melek. Dia seperti anak kecil di pangkuanku.

Sambil memijat dan mengusap kepalanya, aku raba rambutnya yang berkilau terkena cahaya lampu. Kusadari ada helaian warna berbeda pada rambut Mas Radit.

Kuamati beberapa helaian yang bertaut di jari-jariku saat membelainya. Apa ini uban? Pikirku. Kudekatkan lagi pandangan mata, benar jika ada beberapa helai uban di kepala suamiku. Aku tertegun.

“Mas Radit, sekarang umurnya berapa?” cetusku, masih kupandangi helaian rambut putih Mas Radit pada jemari ini.

“Mengapa kamu bertanya? Ulang tahunku masih jauh, Wita,” jawabnya, kedua matanya terbuka langsung menatap wajahku. Tangannya itu serta-merta mengelus pipiku. Aku tersipu dan salah tingkah.

“Cuma bertanya saja,” lanjutku. Dia malah terkekeh, terasa kepalanya sedikit bergerak dari pangkuan ini.

“Jangan ngambek. Umurku dua puluh empat,” jawab Mas Radit lagi. Aku setengah tercengang. Masa iya usianya baru dua puluh empat tahun, sudah muncul uban di rambut?

“Kok, ada uban di kepala Mas Radit? Ada tiga helai, kemarin waktu kusisir rambut Mas, tidak ada uban satu pun. Aneh,” tuturku padanya.

“Masa sih?” sahutnya ragu pada perkataanku.

“Aduh!” jeritnya terkejut saat kucabut satu helai ubannya, dan kuberikan ke tangannya. Dia baru percaya.

Lihat selengkapnya