25 Maret, 1979
Matahari sudah terbenam, laki-laki bertubuh besar dan bertato di lengannya itu, berada di sudut toko berdiri mondar-mandir menunggu seseorang di dalam sedang bernegosiasi pada pemilik toko.
Sementara itu di dalam toko, pergelutan terjadi antara pria berusia tiga puluhan dan pria muda yang tubuhnya masih lemah pasca sakit.
“Kamu sudah kelewatan padaku, Anton! Sudah kukatakan jika kemarin itu kakakmu yang nekat untuk pergi bersamaku. Motorku remnya blong, entah siapa yang melakukan itu. Kejadian yang sudah lama sekali, kamu masih mengancamku?” gertak Radit, napasnya seakan sesak jika bicara panjang.
“Justru itu! Ibuku meninggal dunia karena sakit jantung, waktu mendengar Anita kecelakaan dan tewas! Bapakku makin terpuruk karena Ibu dan Anita meninggal dunia bersamaan, penyebab semua itu, Kau, Radit!” hardik Anton menunjuk-nunjuk.
Radit terancam, dia tetap waspada kalau-kalau dapat serangan membabi-buta dari pria di hadapannya ini. Dulu dia masih bocah, sekarang badannya lebih besar dari Radit.
“Ingat Ton, kamu sudah punya istri dan anak. Macam-macam denganku lagi, kamu tahu akibatnya? Hah!” ancam balik Radit.
Pria itu malah menyeringai, tatapan penuh dendam, dan Radit hanya bisa bersiaga diri. Dua karyawannya sudah pulang, sedangkan yang bersamanya tidak bisa diandalkan. Anton membawa dua rekan yang mirip preman daripada temannya.
“Kau balik mengancamku! Baiklah … Istrimu makin cantik saja, suatu hari aku ingin mengajaknya ke sebuah tempat yang tidak akan bisa kau temukan dia!” seru Anton. Matanya mendelik tajam.
Napas Radit seolah terputus-putus. Sialan! Gerutu Radit dalam hati, bocah ini semakin ngelunjak. Dia menyesal mengapa harus lembek saat pertama kali Anton mengungkit masa lalu kelam itu dan rahasia Radit.
Suara mobil polisi terdengar dari jauh dan hampir mendekat. Radit berkata pada Anton, “Kamu dengar tidak, mobil polisi mengarah ke sini. Mereka setiap sore jelang malam selalu patroli ke seluruh pasar ini. Jika satu teriakan saja dari aku dan anak buahku, mereka akan kemari,” ujar Radit mengalihkan perhatian.
Sebenarnya dia sedikit takut, jika Anton kalap dan rekannya membantu, dia dan karyawannya bisa babak belur di dalam toko.
Anton mengerjap, tersenyum sinis pada Radit lalu berdecak, “Sialan, kita harus pergi, Bung! Aku akan kembali lagi menemuimu Radit, jika sudah waktunya.”
Satu rekan Anton segera beranjak membuka pintu ke luar toko. Begitu juga rekannya yang ada di depan. Mereka meninggalkan toko milik Radit yang di sekitarnya sudah sepi.
Radit dapat bernapas lega. Dia tidak menyangka jika Anton bisa sejauh itu. Muncul kekhawatiran pada Wita, dalam hatinya bergumam sendiri, dia harus menjaga dan melindungi Wita dari niat buruk Anton.