01 April, 1979.
Cinta dan bahagia bersamaan mengiringi hubungan kami saat ini. Semakin kemari, aku merasa jadi perempuan beruntung di dunia ini. Mas Radit perhatian, kasih sayangnya semakin ditampilkan dalam wujud nyata setiap hari.
Kehamilanku hari ini memasuki tiga pekan. Mual sedikit berkurang, tapi Mas Radit jadi malas pergi ke toko, beralasan badannya kurang sehat. Namun, lucunya dia sibuk menemaniku.
Siang ini Mas Radit mengajakku ke tempat yang katanya bagus. Dia bilang ingin piknik bersamaku. Di sana suasananya sejuk. Dekat dengan air terjun dan taman bunga. Perjalanan bersama mobilnya lumayan cepat sampai. Turun dari mobil, aku terpana melihat pemandangan yang sangat indah.
Mas Radit mencari tempat nyaman untuk menggelar tikar. Kami dari rumah sudah dibekali Bi Santi makan siang, buah rujakan dan sambalnya, juga camilan kripik talas. Bi Santi sedikit cerewet padaku, sejak tahu aku hamil. Dia melarang apa-apa yang pantang untuk wanita hamil dalam hal apa pun. Sementara ibu mertua tidak lagi pendiam padaku sekarang. Dia lebih perhatian pada kesehatanku.
“Indah, Mas. Tempatnya nyaman, asri, udaranya segar,” ucapku sambil mengitari sekitar. Mas Radit tersenyum dan sibuk menggelar tikar, menata bekal dan mengeluarkannya.
“Sengaja aku ingin bawa kamu ke sini. Sebenarnya tempat ini sering dipakai orang buat pacaran,” ujarnya setengah bergurau. “Akan lebih bermartabat jika kita yang disini. Kita kan suami-istri,” kekehnya, terdengar lucu.
Kami pun duduk di atas tikar. Biasanya Mas Radit yang tidur di pangkuan kakiku. Kini aku yang tiduran di pangkuan kakinya. Dia mengelus rambut ini, dan kami saling melempar pandangan ke sekitar pepohonan, kolam yang dihuni bebek-bebek berenang, menikmati kicauan burung-burung merdu.
Kupejamkan mata sekejap menikmati kebersamaan ini.
Sudah sejauh ini perjalananku berstatus istri dan sekarang tengah mengandung buah hati kami, batinku berucap.
“Wita …,” panggilnya, dan aku menyahut.
“Boleh kupanggil namamu dengan panggilan sayang?” tanyanya, aku membuka mata dan meliriknya.
“Mas Radit mau memanggilku apa?” ujarku terasa aneh.
“Si Gendut, ya,” kekehnya, aku langsung bersungut.
“Eh, bukan, Wita. Bagaimana kalau namamu disatukan dengan nama depanku?” usulnya dan mataku mengerjap.
“Jadi apa, Mas?” tanyaku lagi.
“Bagaimana kalau Daswita-Radit. Disingkat jadi Da-Ra. Baguskan? Nama kesayangan dariku?” tuturnya. Aku beranjak bangun, duduk di hadapannya.