21 Agustus 2023.
Pria paruh baya berkumis tebal itu tiba-tiba datang ke kiosku. Katanya dia dari toko seberang jalan raya itu. Namanya Pak Raden. Kubalas salam dan senyum padanya. Tidak mau terlalu jauh mengenal, bukan karena aku sombong atau merasa paling baik. Bukan pula karena aku pakai hijab dan gamis yang lebar. Tidak mau terlalu dekat dengan orang asing.
“Bu Dara, sekali lagi saya ucapkan selamat atas pembukaan kios barunya, ya,” ujarnya tersenyum lagi dan memilin ujung kumisnya. “Toko saya menjual perkakas besi. Seperti pisau dapur, kapak, celurit, sabit, cangkul, dan juga perkakas dapur zaman dulu. Jika Bu Dara minat, bisa datang ke toko saya,” lanjutnya lagi.
Aku mengangguk, rasanya pernah mendengar suaranya, entah di mana. Ternyata dia menjual alat perkakas dapur dan senjata tajam.
Agung melihat keberadaan Pak Raden lalu anak itu mendekatiku. Kurasa pemuda ini mengamati sikap Pak Raden padaku.
“Eh, ada Pak Raden. Tumben kesini, Pak. Mau minta jahit baju ke Bu Dara?” singgung Agung tersenyum. Senyum yang berbeda dari biasanya.
Pertama kali mengenal Agung, aku merasa pemuda ini terlihat berbeda dari kebanyakan pemuda yang kutemui. Agung seolah mirip orang tua. Aku jadi teringat Mas Radit. Betapa bawelnya mendiang suamiku dulu, persis orang tua. Ternyata Mas Radit umurnya jauh lebih tua dariku. Itu pun tahu setelah membaca buku catatannya.
Pak Raden tersenyum lebar, setelah tadi dia agak tersinggung pada sapaanku.
“Boleh juga, kapan-kapan saya mau dijahitkan baju tradisional sama Bu Dara. Saya cuma menyapa saja, Gung,” sahut Pak Raden memilin kumisnya lagi.
Aku mengangguk dan tersenyum saja pada Pak Raden, sambil merajut. Daripada bengong menunggu pelanggan, lebih baik aku merajut saja karena masih ada tiga gulungan sisa benang katun dan polyester, dijadikan taplak meja.
“Benar, jahit bajunya sama Bu Dara saja, Pak. Jahitannya bagus kata Bibi Endah. Nanti dikasih harga paling bagus buat Pak Raden, sama Bu Dara,” celetuk Agung.
Kupikir Agung akan menegur Pak Raden, rupanya tidak. Dia malah bergurau, senyumnya kembali menyenangkan.
“Kalau begitu, saya undur diri, Bu Dara. Kembali ke toko Saya. Bu Dara butuh perkakas dapur, silakan beli sama saya. Nanti saya kasih bonus. Beli dua gratis satu,” pamitnya, terkekeh. Dipilin lagi ujung kumisnya sambil melangkah jalan. Terasa geli melihatnya begitu.
Pak Raden sudah pergi. Agung masih berdiri di depan kios. “Pak Raden itu kalau tidak salah tokonya sudah lama berdiri di seberang jalan toko Paman, Bu. Kata Idris, dia sangat aneh. Bicaranya sering ngawur, tapi aku baru lihat Pak Raden menyapa Bu Dara, dan sopan lagi. Dia itu tidak pernah menyapa orang sebelumnya. Bahkan sama saya pun cuek,” tutur Agung. Kedua mataku membulat menanggapinya.
“Oh begitu. Aku sedikit kaget saat dikunjunginya,” sahutku.
***