DARA, Kutukan atau Anugerah.

Rosi Ochiemuh
Chapter #41

Wajah Masa Lalu


Satu malam sudah terlewati. Pagi ini Dara masih disekap dalam ruangan pengap, di rumah Agung. Perempuan paruh baya itu mengingat-ingat apa yang dibicarakan Agung pada kakeknya, Anton. Dia teringat buku catatan mendiang suaminya yang mendonorkan darah. Jika benar Agung memaksa transfusi darah dirinya pada kakeknya, itu artinya dia akan kembali tua dan mati. 

Suara pintu terbuka dan seseorang masuk ke dalam, Dara memicingkan mata. Rupanya Anton. Pria lansia itu masuk menemuinya dengan susah-payah. Berusaha berjalan dengan kursi rodanya. Anton berumur panjang, Dara tersenyum sinis mengingat tulisan di buku catatan suaminya tentang Anton. Pria yang sudah mencelakainya, suaminya dan bisnis mertuanya.

Pria lansia itu mendekat, di tangannya terlihat memegang ponsel. Dara mengenali ponsel itu miliknya.

“Ini, ponselmu, Wita. Aku temukan di ruang tamu. Agung mungkin tidak tahu. Aku akan telepon adikmu, Wawan, mumpung Agung belum kembali,” ucap Anton. Dara terkejut, karena Anton akan menelepon adiknya.

“Jangan salah paham. Aku ini sepupu dari ibunya Endah. Aku sangat menyesal sudah memisahkanmu dari adik dan bapakmu. Ternyata dunia hanya selebar daun kelor, itu benar. Aku jumpa kembali sama anak itu dan dia menyelamatkanku. Maafkan atas kelancangan Agung. Anak itu kurang kasih sayang. Aku mengurusnya sejak bayi. Dia bukan cucu kandungku, dia kupungut di rumah sakit, bersamaan kematian anak dan cucuku di sana. Aku sadar, itulah hukuman Tuhan buatku. Hidup sebatang kara, tanpa keluarga.”

Dara tercenung. Batinnya bergumam, Anton yang semakin tua itu banyak berubah. Pria itu fisiknya sangat tua dan memprihatinkan.

Anton lalu melepaskan lakban yang membekap mulut Dara, dan melonggarkan ikatan di tangan Dara agar bisa meraih ponselnya.

“Carilah nomor adikmu. Aku akan bicara pada anak itu,” ucap Anton.  

Dara menghela napas panjang. “Bagaimana kamu bisa ditolong sama Wawan?” tanya Dara.

“Aku hampir mati karena ditusuk rentenir, waktu Agung berusia satu tahun. Jika telat di bawa ke rumah sakit, aku pasti sudah mati,” jawab Anton datar.

Dara tersenyum sinis, “Itu karma yang kamu terima sama sepertiku waktu dulu.” Anton merasa getir mendengarnya. 

Dara kemudian membuka ponselnya dengan batre sudah hampir tiga puluh persen. DIlihatnya banyak panggilan tidak terjawab dari nomor Wawan lalu ditelepon adiknya itu, diberikan pada Anton.

“Halo, Wan. Saya, Kakek Agung. Kakakmu ada di sini. Tolong jemput dia. Dia baik-baik saja. Maafkan Agung, karena selalu menyusahkan. Oh, saya … Baik-baik saja, Wan. Kamu jangan datang sendirian, bawa Endah dan Idris ke mari. Saya mau bertemu juga,” ujar Anton, suaranya parau.

Lihat selengkapnya