Satu hari telah berlalu dari kejadian buruk kemarin. Aku tidak menyangka jika Anton adalah kakeknya Agung. Aku bilang untuk merahasiakan kejadian buruk yang menimpaku kemarin pada istri dan anaknya Wawan, juga Nirmala dan keluarganya. Jangan sampai mereka tahu dan khawatir.
Sementara itu, Pak Raden hari ini akan bicara empat mata padaku ditemani Wawan. Dia datang ke rumahku hari ini bersama Wawan, sebagai saksi dan waliku.
“Daswita. Saya telah menceritakan semua tentang apa yang kamu alami juga asal usul mengapa kamu tidak menua. Kamu titisan terakhir darah awet muda. Saya ingin mengakhirnya. Setelah ini, saya pun akan siap menghilang,” tuturnya. Aku mengangguk.
“Jadi, akan kembali pada usia yang sebenarnya? Apakah saya akan merasakan sakit yang sama seperti suami saya dulu, Pak Raden?” tanyaku gugup.
Dia tersenyum, “Tidak, tidak akan sama. Kamu memang akan jadi tua sesuai usiamu dan tidak mengalami sakit yang didera seperti bapak mertuamu dan Radit. Namun, tentang kematian itu sudah takdir Allah. Saya tidak berkata kamu tidak akan mati, semua manusia pasti mati. Saya pun akan segera mati, dan menghilang,” jawabnya.
Aku mengangguk. Darmawan juga sama, tapi wajahnya agak murung karena mendengar kata mati dan menghilang.
“Jika Pak Raden menghilang, lantas siapa yang akan mengurus toko-toko Pak Raden?” tanya adikku itu.
“Cicit saya dan keluarganya di pedesaan, akan mengurus semua untuk menggantikan saya. Semua sudah saya persiapkan sejak dulu sekali, tidak mungkin saya akan terus hidup. Saya punya anak laki-laki dan Alhamdulillah dia mengerti keadaan saya. Cicit saya pun sudah tahu. Usianya kini sudah lima puluh tahun,” jawab Pak Raden lagi. Kami merasa takjub dan lega.
Kemudian, Pak Raden menyediakan media yang sudah disiapkan oleh Darmawan untuk menghilangkan ajian itu dari tubuhku. Disaksikan adikku. Pak Raden mulai merapal, entah apa yang dia rapal, samar. Aku duduk di lantai menghadapnya, berjarak dua jengkal. Dia mengambil satu tangkai daun kelor yang masih muda dicelupkan pada air kelapa muda yang sudah diberi garam kasar lalu dicipratkan dengan itu dari ujung kepalaku sampai kaki.
Kemudian dia menyuruh Wawan untuk membaca zikir tasbih, tahmid, tahlil, dan tahrim seribu kali. Disuruh membacakan itu dengan suara keras. Supaya menetralkan kembali ajian itu agar benar-benar hilang dari tubuhku. Mengingat ajian itu adalah hal gaib, maka lafaz Illahi adalah obatnya.
“Selesai … Wita, ajian panji anom dalam darahmu sudah netral kembali. Kamu harus menerima tubuhmu yang sudah tua. Saya harap hidupmu lebih tenang dan saat mendekati waktu datangnya Malaikat Maut, kamu tidak terbebani dengan ajian gaib itu,” ucapnya. Aku mengangguk saja.
“Alhamdulillah, terima kasih banyak Pak Raden. Itu artinya saya sudah kembali menjadi manusia normal. Kembali kepada fitrahnya. Saya malah senang,” imbuhku. Darwaman tercenung memandangiku.