Satu minggu kemudian, Nirmala berkunjung bersama Toni dan anak-anaknya ke rumah. Aku memasak makanan kesukaan mereka. Opor ayam, sayur asem, dan sambal kentang. Tia dan Tio sangat senang datang ke rumahku. Cucu-cucuku yang cantik dan ganteng itu membantu menyajikan makan siang kami yang di gelar di ruang tamu.
“Eyang, kalau sakit bilang sama kami jangan diam saja,” ujar Tio cemas menatap diriku setelah mendengar bahwa kemarin aku bilang sakit batuk pilek, karena sudah lama tidak menelepon mereka.
“Terima kasih Tio. Eyang sudah baikan, kok,” jawabku. Nirmala memandangiku berkali-kali merasa aneh padaku.
Kemudian sebelum makan bersama, aku ingin bicara berdua saja pada Nirmala di kamarku, kubilang sangat penting. Lantas kuceritakan bahwa Pak Raden telah menghilangkan apa yang selama ini ada pada tubuhku.
“Jadi, Pak Raden itu sudah mengembalikan Ibu pada keadaan semula. Dia tahu bahwa Ibu tidak bisa tua,” tukas Nirmala menanggapi ceritaku.
Aku membuka jilbab di hadapan Nirmala dan menunjukkan perubahan fisikku. Nirmala terpaku, lantas dirabanya rambut dan wajahku. Itulah mengapa ada yang lain padaku di mata Nirmala.
Nirmala memeluk tubuhku yang terasa ringkih karena menua. Dia menangis sesenggukan entah mengapa, terharu, terkejut, atau merasa sedih.
“Mengapa kamu menangis?” tanyaku bingung.
Isaknya belum berhenti. Kemudian melepaskan pelukannya, kedua tangannya mengelus pipiku. Dia hapus air matanya dan menatapku kembali.
“Ibu, Nirmala senang sekaligus sedih. Itu artinya, Ibu merasakan tubuh yang tua dan lemah. Nirmala sedih, tubuh Ibu akan cepat lelah dan lemah karena sudah tua,” tuturnya menatap lekat wajahku.
Aku tersenyum, “Tidak apa-apa, itu sudah jadi kodrat Ibu sebagai manusia. Ibu senang, kok. Ibu sudah kembali normal. Ibu sudah tenang, jikapun kematian datang.”
“Ibu! Jangan ngomong begitu! Umur Ibu masih panjang. Kami semua masih ingin bersama Ibu,” kilah Nirmala, wajahnya murung lagi.
“Iya, Sayang. Ya sudah kita makan siang bersama. Suami dan anak-anakmu sudah menunggu,” ujarku langsung menenangkannya. Nirmala mengangguk dan wajahnya tersenyum kembali.
Kami makan siang bersama, dan seperti biasa Tia dan Tio selalu bercanda gurau. Tingkah mereka, sikap mereka buatku senang. Hidupku sekarang sudah lengkap. Aku tenang sekarang.