Langit Palembang malam itu tidak secerah biasanya. Awan menggantung berat, menyembunyikan bulan, seolah tahu bahwa darah akan kembali membasahi aspal tua di lorong-lorong bayangan kota ini.
Levi Beethoven berdiri diam di tepian Sungai Musi. Setelan jas hitamnya basah oleh kabut malam. Di tangannya, sebilah pisau kecil berkarat masih meneteskan darah. Namun bukan darah musuh—melainkan darah saudaranya sendiri.
"Aku tahu dia akan datang," gumamnya pelan, suara dalamnya seperti gema yang menyatu dengan arus sungai.
Dari kejauhan, lampu-lampu dermaga berkelip redup. Palembang tampak biasa bagi orang awam—gemerlap, sibuk, penuh kehidupan. Tapi bagi mereka yang hidup di balik dunia bayangan, kota ini adalah arena perang tak kasat mata. Tempat di mana satu kesalahan kecil bisa membuat jas hitam berubah menjadi kain kafan.
Langkah kaki berat terdengar dari arah belakang.
"Levi, kau bikin kacau lagi," suara itu parau, berat, dan dipenuhi nada jengkel. Seorang pria bertubuh gempal, berkepala plontos dan bertato harimau di leher, muncul dari balik kabut. Namanya Ujang Tato. Dulu dia hanya eksekutor bayaran, kini tangan kanannya Levi. Sahabat, sekaligus saksi hidup kelamnya.
"Dia pengkhianat," jawab Levi pelan tanpa menoleh. "Dia kerja untuk nama yang seharusnya sudah mati."
Ujang menarik napas panjang. "Nama itu muncul lagi? Kau yakin?"
Levi memejamkan mata, dan saat itu, dunia seakan bergetar. Ingatannya menabrak masa lalu…
---
10 TAHUN LALU – FLASHBACK
Hujan deras mengguyur markas keluarga Beethoven di kawasan Ilir Timur. Api membakar ruang pertemuan. Suara tembakan, teriakan, dan jeritan bersahutan. Levi remaja hanya bisa bersembunyi di balik rak buku, memeluk tubuh adiknya, Lia, yang menggigil ketakutan.
Ayah mereka, Panglima Bayangan, baru saja ditembak di depan mata mereka sendiri—oleh seseorang yang membawa simbol kuno di punggung: "Mata Tertutup di atas Mahkota". Simbol yang seharusnya telah dilenyapkan dari dunia mafia sejak tiga dekade lalu.
“Ayahmu menyimpan rahasia… dan sekarang waktunya kita ambil kembali warisan kita,” suara pria bertopeng itu bergema. Dan hanya dalam hitungan menit, bangunan itu rata dengan tanah. Levi selamat. Lia tidak.
Sejak saat itu, Levi hidup untuk satu hal: balas dendam. Tapi semakin ia menggali, semakin aneh kenyataan yang ia temukan. Orang-orang yang seharusnya mati, kembali muncul. Nama-nama tua yang menghilang dari dunia kriminal kembali memegang senjata. Dan simbol itu—selalu muncul dalam darah.
---
KEMBALI KE MASA KINI
"Ujang…" Levi memandang sahabatnya. "Nama itu bukan hanya bayangan. Dia nyata. Dan dia masih hidup."
Ujang menarik jaketnya lebih erat. "Kalau begitu, kita harus ke Benteng Kuto Besak malam ini. Ada info dari jalur bawah, seorang dukun tua melihat sesuatu muncul di sana… sesuatu dari dunia mereka."
Levi menatap Ujang tajam. Dunia mereka. Dunia yang tidak bisa dilihat semua orang.
Ya, Levi menyimpan rahasia. Luka masa kecilnya tidak hanya membentuk dendam, tapi juga membuka mata batinnya. Sejak malam pembakaran markas, ia mulai mendengar suara-suara, melihat bayangan yang tak bisa dijelaskan. Roh-roh yang terbakar bersama keluarganya, kini menjadi pemandunya.
---
DI BENTENG KUTO BESAK – TENGAH MALAM
Angin malam menusuk tulang. Benteng tua itu sunyi, namun udara seolah menjerit. Levi dan Ujang berjalan pelan, menyusuri lorong kuno yang dipenuhi lukisan darah masa lalu. Mereka berhenti di pelataran tengah.
Di sana, duduk seorang pria renta. Rambutnya putih seperti abu, mata kosong menatap langit.
"Dia menunggumu," bisik Ujang.
Levi melangkah maju. "Siapa kau?"
Pria tua itu tersenyum tanpa bibir. "Aku penjaga gerbang antara dunia. Dan kau… anak dari bayangan, telah membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup."
Seketika, tanah di bawah kaki mereka retak. Bayangan muncul dari celah, menyeret udara menjadi dingin. Di antara bayangan itu, sesosok jas hitam muncul. Wajahnya… wajah Lia, adik Levi.
"Lia?" Levi berbisik. Tapi sosok itu tak menjawab, hanya tersenyum dengan mata merah menyala.