Darah Dibalas Dara

Alifia Sastia
Chapter #1

Bab 1: Foto Keluarga

“ASTAGA DARA!!!” jerit Ibu yang berhasil membuatku bergidik lantaran suaranya begitu melengking.

Sontak aku menoleh pada Ibu yang baru saja keluar dari arah dapur sambil membawa sekotak kardus yang telah terjatuh. Mata kami saling bertemu pandang hingga aku bisa melihat mata Ibu membulat sempurna, begitu juga dengan mulutnya. Ibu menyuruhku agar tetap diam sembari beliau mencari kotak P3K.

Para pekerja yang sedang mengemasi barang juga ikut terkejut akan jeritan Ibu. Mereka berbondong-bondong berlari dari arah dapur ke ruang tamu untuk mengecek asal jeritan yang mereka dengar, tapi malah mendapatiku terduduk di depan kaca yang berserakan dengan darah yang terus menetes. Mata kami saling bertemu pandang. Anehnya tanpa kalimat yang keluar kami saling mengerti akan situasi yang terjadi, mereka pun kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan.

Sekitar tiga menit yang lalu aku sedang mengemasi pigura di ruang tamu. Namun kecerobohanku mengakibatkan satu pigura terjatuh. Kaca pigura itu pecah berserakan di lantai. Refleks aku segera berjongkok untuk memunguti pecahan kaca pigura. Tapi mataku malah tertuju pada foto yang terjatuh. Foto itu memperlihatkan Bapak, Ibu, Mas Yanto,  dan aku yang duduk di pangkuan Bapak. Kami tersenyum begitu lebar di foto tersebut seolah kami benar-benar sedang berada di taman hiburan. Nyatanya foto tersebut diambil oleh tukang foto keliling di teras rumah sepuluh tahun yang lalu.

Lamunan kenangan masa lalu itu buyar bertepatan dengan darahku yang menetes di atas foto tersebut disusul jeritan Ibu yang memekikkan telinga. Kini aku kembali menatap foto keluarga yang satu-satunya kami punya, yang telah ternodai oleh darah segarku. Setelah ini kami tidak akan punya foto keluarga baru yang bisa dipajang di ruang tamu.

Aku menghisap darah di jariku yang tidak kunjung berhenti. Namun tidak lama jeritan Ibu kembali terdengar,“Ojok disedot, Ra!”

Terlambat. Darah segar itu sudah kembali lagi masuk ke tubuhku.

Satu ceples-an mendarat di lengan kananku. Tidak sakit, hanya terkejut saja.

“Dadi arek kok angel tenan tuturan e,” omel Ibu, lalu berjongkok di hadapanku sambil menaruh kotak P3K.

Beliau dengan hati-hati membersihkan darah dari jariku. Mata Ibu menyipit saat melihat luka goresan yang cukup lebar. “Sakit, Ra?” tanya beliau yang aku jawab dengan gelengan kepala. Luka goresan itu memang cukup lebar, tapi anehnya aku sama sekali tidak merasa kesakitan.

Ibu kembali menyipitkan mata saat menetesi luka tersebut dengan obat luka, lalu memerbannya. Satu ceples-an mendarat lagi. Kini di lengan kiriku.

“Kamu duduk aja di luar. Biar Ibu yang beresin.”

Tidak mau mendapat ceples-an lagi, aku pun menuruti ucapan beliau. Ibu menyerahkan kotak P3K dengan isyarat agar aku mengembalikannya ke tempat semula. Aku menerima kotak tersebut, lalu berjalan keluar rumah.

Kardus-kardus yang tadi sudah tertutup kembali terbuka. Itu pasti ulah Ibu yang mencari kotak P3K karena melihat jariku berdarah. Aku pun kembali menutup kardus-kardus itu, tak lupa juga memasukkan kembali kotak P3K ke dalam kardus.

“Selamat datang di Kebun Binatang Mini Milik Dara!”

Suara manja itu mengalihkan perhatianku dari kardus-kardus. Aku pun menoleh ke asal suara. Di sana, di depan pagar kandang hewan yang sudah tidak terawat, bocah perempuan dengan potongan Dora berdiri menyambut para pengunjung. Di depan bocah itu ada sekitar lima anak dengan tinggi yang kurang lebih sama sedang mengantre untuk menukarkan uang dengan sebuah karcis. Lima bocah yang tadi mengantre telah masuk ke area kandang hewan sehingga aku bisa melihat secara jelas wajah bocah dengan potongan Dora itu.

Bocah itu tersenyum kepadaku. Dari jarak jauh pun aku bisa melihat lesung pipi di kedua pipinya. Dia melambaikan tangan padaku dengan wajah cerianya.

Lihat selengkapnya