“DARA TANGAN KAMU BERDARAH!!!”
Ibu menjerit ketika melihat darah segar menetes dari jariku. Jeritannya berhasil membuyarkan lamunanku sehingga aku spontan menoleh. Aku mendapati Ibu yang baru saja keluar dari arah dapur membawa sekotak kardus sambil menatapku dengan wajah terkejut. Kami saling bertemu pandang seperkian detik hingga Ibu memberi isyarat agar aku tetap diam sementara beliau berlari keluar rumah.
Para pekerja yang sedang mengemasi barang sepertinya juga ikut terkejut akan jeritan Ibu. Mereka berbondong-bondong berlari dari arah dapur ke ruang tamu untuk mengecek asal jeritan yang mereka dengar, tapi malah mendapatiku. Kami saling bertemu pandang. Anehnya tanpa kalimat yang keluar kami saling mengerti akan situasi yang terjadi, mereka pun kembali ke dapur untuk kembali bekerja.
Sekitar tiga menit yang lalu aku sedang mengemasi foto-foto di ruang tamu. Namun kecerobohanku mengakibatkan satu pigura terjatuh. Kaca pigura itu pecah berserakan di lantai. Refleks tanganku segera mengumpulkan pecahan kaca di samping frame pigura. Saat itulah mataku tertuju pada foto yang terjatuh. Foto itu memperlihatkan Bapak, Ibu, Mas Yanto, dan aku yang duduk di pangkuan Bapak. Kami tersenyum begitu lebar di foto tersebut seolah kami benar-benar sedang berada di taman hiburan. Nyatanya foto tersebut diambil oleh tukang foto keliling di teras rumah sepuluh tahun yang lalu.
Lamunan kenangan masa lalu itu buyar bertepatan dengan darahku yang menetes di atas foto tersebut disusul jeritan Ibu yang memekikkan telinga. Kini aku kembali menatap foto keluarga yang satu-satunya kami punya, yang telah ternodai oleh darah segarku. Setelah ini kami tidak akan punya foto keluarga baru yang bisa dipajang di ruang tamu.
Aku menghisap darah di jariku yang terus keluar. Jeritan Ibu kembali terdengar, “Jangan disedot, Ra!” Terlambat. Darah segar itu sudah kembali lagi masuk ke tubuhku.
Satu ceples-an mendarat di lengan kananku. Tidak sakit, hanya terkejut saja.
“Dadi arek kok angel tenan tuturan e,” omel Ibu, lalu berjongkok di depanku sambil menaruh kotak P3K.
Beliau dengan hati-hati membersihkan darah dari jariku. Mata Ibu menyipit saat melihat luka goresan yang cukup lebar. “Sakit, Ra?” tanya beliau yang aku jawab dengan gelengan kepala. Luka goresan itu memang cukup lebar, tapi anehnya aku sama sekali tidak merasa kesakitan.
Ibu kembali menyipitkan mata saat menetesi luka tersebut dengan obat luka, lalu memerbannya. Satu ceples-an mendarat lagi, kini di lengan kiriku.
“Kamu duduk saja di luar. Biar Ibu yang beresin.”
Tidak mau mendapat ceples-an lagi, aku pun menuruti ucapan beliau. Ibu menyerahkan kotak P3K dengan isyarat agar aku mengembalikannya ke tempat semula. Aku menerima kotak tersebut, lalu berjalan keluar rumah.
Kardus-kardus yang tadi sudah tertutup kembali terbuka. Itu pasti ulah Ibu yang mencari kotak P3K karena melihat jariku berdarah. Aku pun kembali menutup kardus-kardus itu, tak lupa juga memasukkan kembali kotak P3K ke dalam kardus.
“Selamat datang di Kebun Binatang Mini Milik Dara!”
Suara manja itu mengalihkan perhatianku dari kardus-kardus. Aku pun menoleh ke asal suara. Di sana, di depan pagar kandang hewan yang sudah tidak terawat, bocah perempuan dengan potongan Dora berdiri menyambut para pengunjung. Di depan bocah itu ada sekitar lima anak dengan tinggi yang kurang lebih sama sedang mengantre, memberi uang untuk ditukarkan dengan sebuah karcis. Lima bocah yang tadi mengantre telah masuk ke area kandang hewan sehingga aku bisa melihat wajah bocah dengan potongan Dora itu dengan jelas.
Bocah itu tersenyum kepadaku. Dari jarak jauh pun aku bisa melihat lesung pipi di kedua pipinya. Dia melambaikan tangan padaku dengan wajah cerianya.
“Ayo lihat kebun binatang milikku!”