Cermin panjang di lemari itu memantulkan diriku yang sedang duduk bersila dengan seragam kerja berwarna hitam. Aku mulai memoles wajahku dengan makeup flash sale yang aku beli di marketplace. Secara ajaib, mata pandaku akibat sering bergadang setiap malam untuk menamatkan novel mulai tersamarkan. Bibir yang tidak pernah tertarik dengan sempurna tidak lupa aku lapisi dengan lipstik merah cabai yang Ibu belikan di pasar malam. Ibu berkata bahwa bibir yang merah dapat menarik perhatian orang-orang tanpa perlu menarik bibir secara sukarela.
Sebenarnya aku tidak suka warna merah cabai ini. Rasanya begitu pedas di bibirku meskipun lipstik itu tidak memiliki perasa. Namun, Ibu selalu memarahiku apabila aku lebih memilih menggunakan lipstik nude. Beliau akan masuk ke kamarku mengambil lipstik merah cabai dan berlari mengejarku hingga beliau memastikan bibirku telah semerah cabai.
“Kamu lupa dulu sampai harus sembunyi-sembunyi pakai lipstik merah cabai Ibu,” ucapku mengikuti gaya berbicara Ibu sambil melihat pantulan diriku di cermin. Bibirku terlihat begitu merah, siap untuk dipetik.
“Ingat nggak kamu dulu sampai patahin lipstik Ibu terus buat Mochi jadi kambing hitam?” lanjutku melanjutkan ucapan Ibu yang sangat aku hafal ketika beliau mengoleskan lipstik merah cabai.
Memang benar dulu aku pernah menggunakan makeup milik Ibu secara diam-diam saat Ibu sedang bekerja di laundry. Aku memoleskan bedak padat yang menjadi begitu putih di wajahku seperti Casper, aku membentuk alisku sebesar ulat bulu yang aku lihat di Kebun Binatang Miniku, aku menggunakan eyeshadow sepuluh warna yang aku campurkan semuanya, aku menggunakan maskara yang belepotan di kantong mataku karena terlalu sering mengedipkan mata, aku menggunakan blush on merah di pipi sehingga terlihat seperti tomat, dan tidak lupa aku juga menggunakan lipstik merah cabai di bibir. Setelah semua makeup yang Ibu punya aku tempelkan di wajahku, aku bercermin dan tersenyum centil melihat wajah anehku yang bagiku saat itu begitu cantik.
Siang itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku menggunakan makeup Ibu secara diam-diam. Aku kapok karena perbuatanku siang itu mengakibatkan lipstik merah cabai milik Ibu patah. Waktu itu aku kebingungan harus berbuat apa. Memasangkan patahannya kembali juga akan meninggalkan jejak dan mengakuinya akan membuatku kena amukan Ibu yang menyeramkan.
Di saat aku sedang mondar-mandir di kamar sambil menggigit kuku, Mochi, kucingku yang paling gembul masuk ke kamar. Dia mengeong mengisyaratkan waktunya aku memberinya makan siang. Aku pun mengajak Mochi untuk keluar kamar, mengisi tempat makanannya yang kosong dan menunggunya hingga selesai makan. Mochi terlihat lahap sekali makannya hingga tidak tersisa satu butir pun. Tiba-tiba saja ide jahat muncul di otak polosku. Aku membawa Mochi kembali masuk ke kamar Ibu. Di dalam kamar itulah aku melakukan ide jahatku. Aku hiasi bibir Mochi dengan lipstik merah cabai sambil berdoa agar Mochi tidak kepedasan.
Setelah melakukan ide jahat itu, aku meninggalkan Mochi sendirian di dalam kamar Ibu sementara aku kabur masuk ke dalam kamar, bersembunyi di balik selimut. Lima belas menit yang menyiksaku karena aku merasa kepanasan ditambah jantungku yang tidak bisa berdetak dengan normal. Tubuhku bergemetar hebat saat aku dengar pintu utama terbuka.
Ibu sudah pulang. Mungkin nyawaku sebentar lagi akan pulang.
Memang setiap jam dua belas siang, Ibu akan menghentikan pekerjaannya di ruang laundry yang tepat berada di sebelah rumah kami, usaha rumahan yang Ibu kerjakan sendirian. Beliau akan beristirahat untuk memasakkan aku, Mas Yanto, dan Bapak makan siang. Akan tetapi siang itu, aku terancam tidak mendapat jatah makan siang.
Aku menutup wajahku dengan selimut saat Ibu berteriak memanggilku dan Mas Yanto. Dari kamar aku mendengar suara Mas Yanto yang menanyakan mengapa Ibu berteriak memanggil namanya. Ibu pun menjawab dengan suaranya yang meninggi hingga membuat bulu kudukku berdiri. Lalu dengan entengnya Mas Yanto menjawab jika bukan dia pelakunya karena sedari pagi dia hanya berkutat dengan bukunya sehingga kemungkinan besar akulah pelakunya. Aku memaki dalam hati saat Mas Yanto menuduhku dengan tepat saat itu.
“Siapa lagi kalau bukan Dara, Bu? Yanto enggak mungkin, kan, pakai lipstik.”
“Iya, juga. Sekarang mana adikmu itu?”
Tidak lama Ibu kembali meneriaki namaku, kini sebanyak tiga kali. Akan gawat jika aku tidak segera memunculkan batang hidungku. Akhirnya dengan keberanian yang hanya setetes darah, aku keluar kamar dan pergi ke kamar Ibu. Di sana Ibu berdiri di dekat meja riasnya sambil berkacak pinggang menatapku, Mas Yanto berdiri di depan pintu dengan buku yang masih di tangannya—aku tidak habis pikir dia masih sempat-sempatnya belajar di situasi seperti itu, dan Mochi yang sedang mandi di atas kasur. Seketika aku langsung menunjuk Mochi sebelum tatapan Ibu menghabisiku, “Bukan aku! Mochi yang patahin lipstik Ibu!”
Ibu segera mengalihkan pandangannya pada Mochi yang asyik menjilati perutnya mengakibatkan tubuh sucinya itu menjadi merah-merah. Melihat merah-merah di bibir dan sekujur tubuh Mochi, Ibu mendekati kucing itu masih sambil berkacak pinggang.
“Oh, jadi Mochi pelakunya?”
“Ta-tadi waktu Dara habis dari kamar mandi lihat Mochi masuk kamar. Dara enggak tahu kalau Mochi bakal patahin lipstik Ibu,” ucapku secepat kilat.
Aku mulai menghela napas saat Ibu menepuk-nepuk kepala Mochi membuat kucing gembul itu mulai meleyot-leyotkan tubuh moleknya. Mochi mengeong. Kucing gembul itu suka sekali dimanja.
“Kamu habis fashion show, Dek?” Tiba-tiba Mas Yanto yang akan kembali ke kamarnya bertanya padaku. Aku gelagapan begitu hebat. Tidak mau rencanaku gagal, aku pun berpura-pura meregangkan tubuhku sambil menutup mulutku yang menguap palsu.
“Dari tadi Dara tidur di kamar.”
“Tapi kenapa mukamu jadi aneh gitu?” tanya Mas Yanto lagi sambil menunjuk wajahku.