Darah Dibalas Dara

Alifia Sastia
Chapter #3

Bab 3: Bus yang Mengejar Bulan

Hari minggu ini aku mendapat kerja shift sore sehingga memiliki banyak waktu kosong hingga siang nanti. Namun sebanyak apa pun waktu kosong yang aku miliki, pasti hanya aku gunakan untuk membaca novel. Kemarin saja aku seharian penuh menghabiskan waktu liburku dengan berdiam diri di kamar dengan novel lama yang akhirnya mendapat giliran untuk aku baca. Semalam aku berniat untuk menamatkan novel itu, tapi nyatanya saat masuk ke bab konflik yang mulai memanas, mataku yang malah duluan panas. Alhasil aku ketiduran.

Setelah tidur malam yang nyenyak, kini mataku sudah tidak panas lagi. Aku pun melanjutkan membaca novel yang tertunda. Novel tersebut menceritakan tentang pemuda yang terpaksa mencuri untuk menghidupi ayahnya yang mengidap stroke. Namun aksinya itu tertangkap basah oleh warga sehingga berakhir masuk ke dalam jeruji besi. Pemuda itu terus merasa cemas setiap harinya memikirkan nasib ayahnya yang tinggal sendirian di rumah. Dia sudah meminta tolong kepada sipir untuk mengecek keadaan ayahnya, tapi tidak pernah direspons.

Di tengah konflik yang memanas, perutku berbunyi. Aku tidak ingin menunda lagi membaca kisah pemuda penyayang ayah untuk ke sekian kalinya sehingga aku mengajak novel tersebut untuk menyantap sarapan bersamaku.

Tangan kananku sibuk memasukkan nasi ke dalam mulut, tangan kiriku sibuk memegang novel agar tidak tertutup sekaligus mengganti ke halaman selanjutnya, dan mataku sibuk membaca setiap kata yang ada. Aku bersyukur menjadi generasi Z yang ahli dalam melakukan dua kegiatan dalam satu waktu sekaligus atau biasa di sebut multitasking. Akan tetapi keahlian itu sepertinya lebih berguna untuk kegiatan lain dalam pandangan Ibu. Beliau menyindirku seperti ini, “Lek tanganmu onok sepuluh enak, Ra. Isok ngewangi Ibu masak, kora-kora, umbah-umbah, jemur klambi, nyetriko, nyapu, ngepel.”

Sindiran Ibu membuyarkan fokusku membaca novel. Kini aku mengalihkan pandanganku pada Ibu yang berada di depanku, beliau sedang menghitung pekerjaan yang baru saja ia sebutkan. Hitungannya berhenti di angka tujuh.

Ibu menunjukkan angka tujuh dengan jarinya kepadaku sambil berkata, “Itu baru tujuh. Sisa tiga bisa buat makan, baca novel, sama garuk punggungmu yang gatel.”

Keningku mengerut mendengar perkataan beliau yang tidak masuk akal tapi cukup lucu untuk lelucon yang keluar dari mulut ibu-ibu berumur 45 tahun.

Mengerti akan situasiku yang berada di ambang hidup dan mati, aku pun menghentikan memamerkan keahlian multitasking-ku di hadapan Ibu. Aku menunda kembali membaca kisah pemuda penyayang ayah tersebut dan lebih memilih fokus untuk menghabiskan sarapan hari ini yang menunya adalah pecel dengan lauk telur ceplok. Sementara Ibu terus mengecek barang-barang pesanan putra tercintanya.

“Nasi uwes, lauk uwes, sayur uwes, sabun uwes, obat-obatan uwes. Opo maneh, yo? Kok koyok e onok sing kurang,” ucap Ibu berbicara dengan pikirannya sendiri.

“Plester,” ucapku bertepatan dengan sarapanku yang telah habis. Aku pun meneguk segelas air.

“Oh iyo, plester. Suwun yo, Ra. Saiki Ibu wis mulai pikun,” kata Ibu yang kemudian berlari kecil mengambil plester yang tersimpan di kotak P3K di ruang tamu. Tidak lama beliau kembali dan segera memasukkan semua bawaannya ke dalam tas besar.

Aku pun juga kembali melanjutkan membaca novel yang terus-terusan tertunda.

Pemuda itu memilih menusuk perutnya hingga mendapat belasan jahitan. Dia juga diwajibkan untuk rawat inap selama seminggu untuk pemulihan. Kondisi itu ia jadikan kesempatan untuk melarikan diri melalui jendela saat sipir tengah lengah.

Sepanjang jalan tangisnya tidak kunjung berhenti. Dia merasa sudah menjadi anak durhaka karena telah meninggalkan ayahnya yang tidak berdaya sendirian di rumah. Sementara itu aparat polisi yang telah mengetahui aksi kaburnya mulai berpatroli ke seluruh penjuru kota. Pemuda itu berakhir menjadi buron.

“Ra, kamu beneran enggak mau ikut?”

Aku menggeleng dengan pandangan yang masih tertuju pada novel. Aksi kabur pemuda itu begitu menegangkan, aku tidak mau menundanya lagi.

“Mas selalu nanyain kamu, loh, Ra. Sekali aja jengukin masmu, dia pasti seneng.”

Tapi sepertinya Ibu suka sekali menggangguku. Aku jadi tidak bisa fokus membaca, maka aku putuskan untuk menjedanya sebentar saja sampai memastikan Ibu telah pergi.

“Dara enggak minat. Lagian masa tahanan Mas juga masih lama, kapan-kapan juga bisa, kan?”

“Iya kalau Mas kamu belum dilayar. Kalau udah dilayar bakal susah jenguknya.”

“Ya… enggak usah dijenguk. Dara juga enggak minat.”

Ibu terdiam. Sepertinya beliau sudah kehilangan argumentasi untuk berdebat denganku. Aku merasa senang akan hal tersebut.

“Yowis Ibu budal sek. Ojok lali lek mendung jemuran e entas en!”

“Siap, Ndoro!”

Ibu telah berangkat pergi menjenguk putra tercintanya. Itu artinya aku bisa bebas melanjutkan membaca novelku yang tertunda.

Lihat selengkapnya