Sore ini selepas menyelesaikan shift pagi, aku segera bergegas menaiki bus kota. Aku sudah berpamitan dengan Ibu melalui telepon bahwa aku akan pulang telat untuk bertemu teman. Ibu terdengar terkejut mendengar kata ‘teman’ dari mulutku hingga beliau terus melontarkan pertanyaan seperti ‘kamu punya teman, Ra?’, ‘kamu kenalan di mana?’, ‘teman sekolahkah?’, ‘kapan-kapan ajak main ke rumah, ya?’, hingga pertanyaan ‘teman kamu cewek, kan?’. Aku menanggapi pertanyaan lucu Ibu dengan tawaan dan sepatah kata ‘ada deh’ yang aku yakini berhasil membuat Ibu semakin penasaran.
Memang kata ‘teman’ sudah lama tidak pernah ibu dengar sejak lima tahun lalu. Semua bermula karena sekotak kardus yang aku temukan di gudang siang hari itu. Sekotak kardus yang berisi jawaban paling menyakitkan yang tidak pernah aku bayangkan. Pada akhirnya sekotak kardus itu membawaku pada Dara yang baru ini, yang tidak punya teman dan yang lupa bagaimana caranya untuk mengekspresikan diri.
Empat puluh menit perjalanan di bus, akhirnya aku sampai juga di halte terdekat menuju taman. Selanjutnya aku hanya tinggal berjalan kaki selama sepuluh menit saja.
Di sepanjang jalan, suara kendaraan yang berlalu lalang cukup membuat bulu kudukku merinding. Kendaraan-kendaraan itu seperti tidak takut mati, padahal orang yang menunggu mereka di rumah terus berdoa setengah mati agar mereka selamat di perjalanan. Aku cuma bisa mengelus dadaku, seolah mengatakan pada organ di dalamnya bahwa tidak perlu khawatir karena aku aman berjalan di trotoar.
Saat aku baru saja berhasil mengejar lampu merah, tiba-tiba saja aku mendengar suara tabrakan. Sontak aku menoleh dan mendapati dua pengendara motor yang terjatuh di dekatku. Para pengendara lain segera membantu keduanya untuk menepi dan mengobrol. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa salah satu dari dua pengendara tersebut adalah pengamen bergitar marun. Aku pun mendekatinya.
“Mas, gapapa?”
Dia juga terlihat ikut terkejut mendapatiku berjongkok di hadapannya.
“Konco e sampean, Mbak?” Seorang pengendara yang membantu bertanya kepadaku, aku mengangguk.
Dua pengendara yang baru saja mengalami kecelakaan kecil itu saling bersalaman. Untungnya tidak ada luka besar yang mengharuskan mereka dilarikan ke rumah sakit. Pengamen bergitar marun juga mengakui bahwa dia yang salah karena menyerobot lampu merah yang sudah mulai berganti hijau. Akibat dari kecerobohannya itu, ia sedikit mendapat luka di siku kananya.
Pengamen itu lalu menyuruhku naik ke motornya, kami berdua pergi ke taman bersama-sama.
“Nanti sampai rumah, sebelum ganti plesternya jangan lupa kasih obat luka,” kataku sambil membantu menempelkan plester di luka pengamen itu.
“Untung kamu bawa plester,” celetuknya.
“Itu obat jitu setiap kakiku lecet karena lama pakai flat shoes.”
“Kenapa nggak ganti pakai sepatu bot aja?”
Aku menatapnya tajam. Mata kami bertemu. Menyadari bahwa pertanyaannya konyol, dia tersenyum.
Selepas mengobati luka di siku, kami berdua diam menghabiskan waktu sunyi menatap ke arah tengah taman yang ramai. Kami menontoni para pengunjung yang terlihat bahagia. Ada sepasang kekasih yang sedang bermesraan dengan terus bergandengan tangan padahal tidak sedang menyeberang, ada suami yang sedang memotret istrinya yang terlihat paling cantik di taman, ada ayah yang sedang bermain kitiran dengan anaknya, ada ibu yang sedang membelikan putrinya gelembung sabun, dan ada pedagang yang terus berkeliling menawarkan dagangan kepada para pengunjung. Juga ada kami yang terdiam dengan pikirannya masing-masing. Aku yang terlalu ragu untuk mengucapkan tujuanku kemari pada orang di sampingku dan dia yang tidak tahu sedang memikirkan apa.
“Aku mau…”
“Tadi Mbak…”
Kami berdua sontak menoleh. Saling bertemu pandang, lalu mempersilahkan satu sama lain untuk melanjutkan kalimat yang terpotong. Pada akhirnya dia mengalah untuk mengatakan pikirannya terlebih dahulu.
“Tadi Mbak nggak salah ngaku sebagai teman saya?”
Oh, jadi selama diamnya, itukah yang akhirnya menang dalam pertarungan di pikirannya?
“Belum, ya?”
“Kita aja belum kenalan.”
Betul juga. Lancang sekali aku menyebutnya sebagai temanku saat kami saja belum saling mengenal nama satu sama lain.
Dia mengulurkan tangannya di depanku, “Nama saya Zaki, tapi orang-orang selalu panggil saya Jaki. Padahal huruf ‘z’ di nama saya itu adalah kunci kerennya nama saya, tapi saya noleh juga sih kalau ada yang panggil Jaki.”
Perkenalan yang panjang sekali. Unik.
“Dara,” balasku sambil menjabat tangannya.
“Nggak pakai ‘h’, kan?”
“Iya, nggak pakai ‘h’.”
Selanjutnya dia mempersilahkanku untuk melanjutkan ucapanku yang terpotong tadi. Aku pun akhirnya memberanikan diri mengucapkan terima kasih atas nyanyian penghibur yang dia lantunkan khusus untukku juga sarannya yang berhasil membuatku berbaikan dengan Ibu. Tidak lupa juga tujuan utamaku yaitu menanyakan timbal balik apa yang bisa aku berikan untuk dua hal yang telah dia berikan padaku dua hari lalu. Pengamen bernama Zaki itu lalu mengatakan bahwa apa yang dia lakukan kemarin free, aku tidak perlu membalasnya. Namun aku merasa tidak enak karena kemarin dia begitu membantuku.
“Saya bukan laki-laki pengecut. Kalau saya bilang free, ya, free. No debat!”
“Kalau gitu malam ini, aku boleh minta dinyanyikan satu lagu?”
“Kalau malam ini nggak free,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
“Sepuluh ribu untuk satu lagu?”
“Nomor telepon kamu untuk satu lagu.”
Mataku sedikit melotot mendengar permintaannya yang tidak pernah aku pikirkan. Mengapa dia meminta nomor teleponku alih-alih meminta uang?
“Gimana, Mbak?”