Darah Dibalas Dara

Alifia Sastia
Chapter #6

Bab 5: Seratus Juta

Sebulan semenjak aku memberikan nomor teleponku pada Zaki, tidak pernah kami melewatkan pesan-pesan receh, nyanyian di penghujung hari, atau seporsi penyetan di hari libur kerjaku. Cowok itu selalu menyempatkan waktu untuk menghubungiku. Dia memiliki banyak cerita yang katanya wajib aku dengarkan. Sebulan sudah mengenal dan mendengarkan ceritanya, aku jadi memiliki pandangan yang lebih positif terhadap sosok Zaki. Tidak seperti pertemuan awal kami di taman yang mana aku menganggapnya sebagai orang aneh, nyatanya Zaki adalah orang baik seperti template yang selalu dia ucapkan ‘Saya orang baik, Ra’.

Seminggu yang lalu Zaki menghubungiku malam-malam untuk menceritakan pengalamannya dikejar-kejar oleh warga. Katanya sore itu Zaki sedang mengamen bersama salah satu temannya, Opang, di gang-gang kampung. Belum juga mendapat uang, seorang warga meneriaki mereka maling membuat warga-warga lain keluar rumah. Zaki yang kaget diteriaki maling pun menjelaskan kepada warga bahwa dia hanya ingin mengamen, tapi nyatanya itu tidak mempan saat Opang telah lari kocar-kacir. Warga mengamuk dan mengatakan bahwa kemungkinan besar Zaki adalah komplotan maling. Tahu bahwa diam adalah bukan pilihan yang tepat, Zaki pun ikut lari mengejar Opang. Sore itu Zaki benar-benar berlari cukup jauh hingga katanya dia sampai menghabiskan tiga botol air mineral setelah berhasil lolos dari kejaran warga.

Zaki yang kelelahan pun mengamuk kepada Opang yang ternyata tiga bulan lalu pernah mencuri sepeda di daerah situ. Aksi Opang tertangkap oleh salah satu warga yang mengingat wajahnya. Bodohnya lagi, Opang lupa akan aksi kejahatannya yang sepertinya sudah terlalu banyak. Untung saja Zaki yang tidak bersalah tidak kena amukan main hakim warga.

“Harusnya ketangkep itu, teman kamu salah. Biar tanggung jawab.”

“Kalau ketangkep dia bisa mati di tangan warga, Ra.”

“Kamu juga pernah nyuri, Zaki?”

“Saya orang baik, Ra. Mending saya puasa daripada makan uang haram.”

Kalimat ‘saya orang baik’ adalah template Zaki yang hampir aku dengar setiap harinya. Dia selalu percaya diri mengatakan bahwa dia tidak seperti temannya yang suka mencuri, dia tidak seperti temannya yang suka mabuk-mabukan, dan dia juga tidak seperti temannya yang suka seks bebas. Setiap kali mendengar self claim-nya itu, aku selalu menunjukkan reaksi ketidakpercayaanku pada ucapannya. Seperti malam ini saat dia bercerita bahwa aku adalah perempuan pertama yang dia bonceng. Aku dengan sengaja menyatakan ketidakpercayaanku dan menyudutkannya bahwa pasti sudah banyak wanita yang duduk di boncengan Zaki.

Lucunya, cowok itu terus bersikukuh bahwa dia bukanlah cowok playboy seperti yang aku katakan. Lalu saat dia lelah berdebat denganku dia berkata seperti ini, “Terserah, sih, Ra, kamu mau percaya apa enggak. Tapi beneran…”

“Saya orang baik,” ucap kami berdua bersamaan.

Zaki berdecak saat aku dengan tepat mengucapkan tagline template-nya bersamaan dengannya. Kesal karena aku tiru, dia meninggalkanku yang masih kesusahan membuka pengait helm. Tapi aku sungguhan, pengait helm milik Zaki memang susah dibukanya. Biasanya juga Zaki yang membukakannya untukku.

Tidak kunjung bisa membukanya, aku pun membiarkan helm ini masih terpasang di kepala dan lebih memilih mencari tempat duduk sembari menunggu Zaki memesan bakso. Tidak lama lelaki itu kembali dan dengan sigap membukakan pengait helm, sambil mengomel, “Manja kali kamu, Ra.”

“Pengait helmmu yang rusak.”

“Bilang aja kalau kamu suka sama saya.”

Aku hanya meliriknya yang sedang tersenyum lebar dan terlihat serius melepaskan pengait helm. Tidak butuh waktu lama, Zaki dengan mudah melepaskan pengait helm itu, dia meletakkannya pada spion motornya, lalu kembali duduk di seberangku.

Malam ini, kami memang sudah menjadwalkan untuk keluar mencari makan malam bersama. Sudah beberapa hari Zaki mengatakan bahwa dia menemukan warung bakso dan es campur yang enak. Zaki bilang aku harus mencoba bersamanya. Makanya tadi dia semangat sekali menjemputku ke tempat kerja karena katanya akan lama kalau menungguku menaiki bus.

“Malam ini nggak ngamen lagi?”

“Libur dulu.”

“Libur mulu. Kapan kayanya?”

“Saya nggak mau kaya, Ra. Lagian kaya, tuh, nggak harus tentang uang. Punya keluarga yang sayang sama kita juga termasuk kaya.”

Aku menggeleng. “Itu emang cara kerja keluarga, Ki. Kaya itu kalau kamu enggak dikejar-kejar debt collector, enggak bingung besok mau makan apa, dan enggak takut diusir sama pemilik rumah.”

“Tapi nggak semua keluarga tahu cara kerja saling sayang itu, Ra.”

Aku hanya mengangguk-angguk. Ucapan Zaki benar sekali. Tidak semua keluarga tahu bagaimana caranya menyayangi keluarga mereka. Begitu juga keluargaku yang bahkan tidak akan pernah bisa berkumpul bersama untuk saling menyayangi.

Pembicaraanku dan Zaki berhenti kala penjual bakso mengantarkan pesanan kami. Dua porsi bakso dan seporsi es campur datang. Sengaja kami beli satu es campur karena selain mahal, aku juga tidak akan bisa menghabiskan semangkuk besar es campur yang setinggi bukit.

Kami saling diam menyantap seporsi bakso di hadapan masing-masing yang telah diracik sesuai selera. Zaki menambahkan delapan sendok sambal dan meneteskan jeruk nipis yang berhasil membuat mataku memandangnya tidak percaya. Pasalnya aku tidak begitu suka pedas. Dua sendok sambal sudah berhasil membuat pelipisku berkeringat.

“Enak, kan?”

“Lumayan.”

Lihat selengkapnya