Darah Dibalas Dara

Alifia Sastia
Chapter #10

Bab 9: Payung Merah

Bau kotoran merpati perlahan hilang. Aku sudah tidak lagi menggigil setiap malam karena terlalu sering bermain air. Namun, aku masih merasa waswas setiap kali keluar rumah, takut jika kotoran merpati kembali menimpaku. Apalagi saat aku menyadari jumlah merpati di lingkungan tempat tinggalku semakin bertambah. Bekupon-bekupon mulai terlihat menghiasi atap rumah warga. Lingkungan ini sudah tidak lagi aman, untukku.

Satu-satunya cara agar kepalaku aman dari kotoran merpati ialah dengan mengenakan payung setiap kali keluar rumah.

Bulan Oktober ini, hujan sesekali menyapa. Langit selalu mendung namun hujan belum tentu turun—cuaca yang menyejukkan sekaligus membingungkan bagi manusia. Ada yang maju mundur untuk jalan-jalan keluar rumah, ada yang sudah menenteng payung dengan sia-sia, dan ada yang terus memanggil pawang hujan agar acara pernikahan mereka berjalan lancar. Namun bulan ini juga ada aku yang membingungkan bagi ibu-ibu kepo karena mengenakan payung saat langit mendung. Mungkin mereka bertanya-tanya, perempuan ini sedang menjaga dirinya dari apa?

“Gorong udan lapo gawe payung, Mbak Dara?”

“Biar nggak gosong, Bu.”

“Gosong teko endi, Mbak? Langit e mendung ngene,” kata salah satu ibu-ibu sambil melihat ke langit yang gelap sejak tadi siang. Ibu-ibu itu menertawai keanehanku.

“Meskipun mendung, kulit kita juga masih bisa kebakar. Itu lihat aja tangan ibu-ibu pada merah karena kelamaan ngerumpi di luar,” jawabku yang membuat mereka sontak terdiam dan saling beradu pandang.

Salah satu dari mereka lalu tertawa, “Arek enom saiki ancen out of the box. Srengenge ae nggak onok kok isok gosong?”

“Ot op gedebok iku opo, Mbak?”

“Out of the box, Mbak. Guduk gedebok.”

“Ora isok boso Enggres aku.”

Gelak tawa terdengar. Mereka sibuk sendiri membahas keluguan salah satu anggota mereka sehingga aku bisa melarikan diri.

Aku pun segera berjalan untuk pulang. Namun sesampainya di depan kontrakan, aku dikagetkan dengan kedatangan Zaki. Cowok itu berdiri di depan pagar sambil celingak-celinguk. Saat dia melihat kedatanganku, Zaki segera mendekatiku.

“Ra..”

“Kamu ngapain ke sini?”

Zaki tidak menjawab pertanyaanku. Cowok itu memegang kedua lenganku, mengecek seluruh badanku yang baik-baik saja. Lalu dia juga menempelkan punggung tangannya pada keningku, “Kamu sakitkah, Ra?”

Aku menghempaskan tangannya menjauh dariku. Zaki terlihat terkejut dan mencoba mendekatiku, tapi aku segera melangkah mundur.

“Pulang aja, Ki.”

“Kamu kenapa, Ra? Semingguan ini nggak ada kabar.”

“Jangan temui aku lagi! Kita nggak sedeket itu.”

“Setelah kecupanmu malam itu?” tanya Zaki dengan keningnya yang mengerut. Dia menatapku seolah tidak percaya aku menyebut hubungan kami tidak dekat.

“Maaf kalau itu berarti buat kamu, tapi enggak buat aku. Cukup sampai sini aja, Ki. Sekarang kita jalani hidup kita masing-masing,” kataku membuat Zaki terkekeh, dia membuang mukanya. Untuk pertama kalinya Zaki tidak menjatuhkan pandangannya padaku. Rasanya begitu aneh. Seolah hatiku berkata bahwa aku ingin terus ditatap olehnya.

Namun tetap pada pendirian bahwa aku tidak boleh menerima apa pun bentuk kebahagiaan termasuk cinta dari Zaki, maka aku pun melangkah maju untuk masuk ke kontrakan. Langkahku dihadang olehnya. “Kita bahkan baru mulai, Ra. Secepat itu kamu mengakhirinya?”

Aku hanya bergeming.

“Sore itu saya nunggu satu jam lebih, tapi kamu bahkan nggak keluar. Se-enggaknya bilang ke saya kalau kamu emang mau batalin janji kita. Seminggu ini saya juga selalu hubungi kamu, tapi enggak pernah satu pun ada balasan dari kamu, Ra. Kalau emang dari awal kamu menganggap semua yang kita lakuin enggak ada artinya, jangan kasih saya harapan. Jangan persilakan saya masuk ke dalam hidupmu!”

Untuk pertama kalinya aku melihat wajah Zaki yang tidak bersahabat. Keningnya terus mengerut dengan sorot matanya yang begitu tajam. Suara Zaki juga tidak terdengar selembut yang selalu aku dengar selama ini.

Lihat selengkapnya