Darah Dibalas Dara

Alifia Sastia
Chapter #11

Bab 10: Mawar Berduri

Pagi ini warga dihebohkan dengan bangkai puluhan merpati yang tergeletak di sepanjang jalan kampung. Para warga berbondong-bondong menonton sambil mendiskusikan bagaimana bisa merpati-merpati mereka mati secara bersamaan. Ibu juga menarikku untuk melihat sekilas bangkai-bangkai merpati saat kami akan pergi ke pasar.

Salah satu ibu-ibu yang biasanya merumpi di depan warung menghampiri Ibu mengatakan bahwa merpati milik suaminya telah mati sehingga ia rugi ratusan ribu. Sementara itu bapak-bapak juga pemuda pemilik bangkai-bangkai merpati berkacak pinggang sambil berpidato bahwa kemungkinan besar merpati milik mereka telah diracuni oleh seseorang. Mereka juga tidak segan menunjuk-nunjuk warga yang berkerumun sambil menyumpahi hidup pelaku tidak akan tenang.

 Sementara aku merasa tidak kuat berada di sini. Bau bangkai merpati itu begitu menusuk indra penciumanku. Menutupi hidung dengan tangan tetap tidak bisa menghadang bau itu masuk. Maka aku menarik baju Ibu untuk segera pergi dari sini, tapi Ibu masih terlihat asyik mengobrol dengan ibu-ibu yang tersulut api amarah.

“Pasti onok sing ngeracun iki. Nggak mungkin lek kenek virus mati e barengan.”

“Pelaku e paling yo nggak adoh teko awakdewe.”

“Di kampung sini nggak ada CCTV ya, ibu-ibu?” tanya Ibu yang sepertinya juga penasaran dengan alasan kematian puluhan merpati.

“Enggak ada Bu Dara. Makanya ini kami mau ke Pak RT biar kejadian kayak gini nggak keulang lagi.”

Semakin lama, bau bangkai merpati itu semakin meruak ketika para warga mulai membersihkannya. Sejak tadi Ibu tidak kunjung merespons kodeku. Sementara kepalaku terasa begitu pusing dan perutku mual. Bau bangkai merpati benar-benar bisa membuatku pingsan jika aku terus berada di sini. Maka tanpa menunggu dan meminta persetujuan Ibu, aku berjalan cepat pergi menuju halte.

Sepanjang perjalanan di dalam bus, aku mencoba menghubungi Zaki. Awalnya aku pesimis saat panggilan tidak kunjung diangkat. Namun tidak lama, Zaki mengangkatnya. Dia terdengar kebingungan saat aku hanya memanggil namanya dengan terisak-isak. Lalu Zaki menyuruhku untuk menunggu di taman, di tempat pertama kami bertemu.

Aku menunggu Zaki cukup lama. Setiap kali aku menghapus air mata yang menetes di pipi, air mataku terus terjun kembali. Bau bangkai merpati yang menyengat membuatku teringat akan pembunuh Bapak juga Mas Yanto. Batinku terus bertanya-tanya, apakah aku sama saja dengan mereka?

“Ra, kenapa nangis?” Zaki dengan wajah khawatir menyejajarkan wajahnya denganku yang sedang duduk di tribune taman. Dia menangkup wajahku, lalu perlahan menghapus air mataku yang jatuh.

“Zaki…”

“Iya, kenapa, Ra?”

“Kamu…”

“Saya udah jahatin kamu, ya, Ra?”

Kepala menggeleng pelan. Sore itu Zaki hanya menuntut penjelasan dari sikapku yang berubah. Membatalkan janji tanpa kejelasan hingga seminggu tidak memberi kabar adalah tindak kejahatan. Akulah tokoh antagonisnya.

“Kamu masih mau sama aku nggak kalau aku bilang aku pembunuh?”

Mendapat pertanyaan seperti itu tentu saja mengejutkan untuk Zaki sehingga dia hanya bergeming menatapku.

“Aku udah bunuh mereka, Ki. Aku bunuh doro-doro sialan itu. Kamu masih mau sama aku?”

Zaki mengusap rambutku dengan lembut. Matanya tidak pernah sedikit pun teralihkan dariku. Sorot mata ini yang aku rindukan. “Saya masih di sini, Ra. Selalu di dekat kamu.”

“Aku salah ya, Ki, bunuh mereka demi bisa menerima kebahagiaan? Aku jahat, ya?”

Doro-doro itu yang jahat, Ra. Mereka yang udah bunuh kamu selama ini. Kamu berhak bahagia sekarang.”

Jawaban Zaki membuat tangisku semakin kencang. Cowok itu pun jadi kebingungan dan terus mengucapkan cup cup cup sambil mengusap puncak kepalaku. Tapi bukannya berhenti, tangisku semakin kencang dalam pelukannya. Zaki jadi membeku saat tiba-tiba aku melingkarkan tanganku di lehernya. Namun detik berikutnya dia membalas pelukanku, dia mengusap-usap punggungku yang bergetar.

“Sekarang aku mau bahagia terus, Ki. Sama kamu. Kita berdua bahagia.”

“Saya juga mau bahagia, Ra.”

* * *

Dua jam lamanya aku merias diri, tapi ternyata tetap saja masih harus membuat Zaki menunggu. Ibu yang mengetahui Zaki menungguku lantas segera membantuku untuk memilih baju mana yang sekiranya cocok aku gunakan untuk kencan bersama Zaki. Namun sudah mengobrak-abrik lemari, aku juga tidak kunjung menemukan baju yang pantas. Pada akhirnya Ibu mengambilkan sebuah blouse bunga-bunga berwarna merah dari lemarinya.

“Pakai baju Ibu aja, Ra. Ayo cepetan! Sakno arek e wis ngenteni.”

Tidak memiliki pilihan lain, aku pun mengenakan blouse milik Ibu yang aku padu padankan dengan boot cut medium blue.

Merasa sudah menggunakan semua makeup, mencatok rambut, menggunakan outfit yang kali ini feminin, juga menyemprot parfum sebadan, aku pun berjalan keluar menemui Zaki. Namun, Ibu juga mengikutiku sambil membawa keranjang belanjaan. Aku tahu Ibu ingin menemui sekaligus mengobrol dengan Zaki, tetapi beliau malu untuk berkata jujur sehingga beralasan, “Ibu mau belanja ke warung.”

Melihat aku dan Ibu keluar dari dalam kontrakan, Zaki pun turun dari motornya. Dia menyapa Ibu, lalu mencium tangan Ibu. “Sore, Tante.”

“Sore, Nak. Mau pergi sama Dara, ya?”

“Mau kencan, Tante,” jawab Zaki sedikit berbisik kepada Ibu yang sontak mendapat tawa kecil dari Ibu.

“Kenalin Bu, ini teman Dara namanya Zaki,” kataku memperkenalkan Zaki pada Ibu yang aku yakini mereka belum berkenalan hari itu.

“Jaga Dara, ya, Nak Jaki. Jangan pulang malam-malam,” kata Ibu sambil mengusap-usap lengan Zaki yang cowok itu respons dengan senyum lebar.

Aku menyenggol lengan Ibu sambil berbisik, “Namanya Za-ki.”

Lihat selengkapnya