Darah Dibalas Dara

Alifia Sastia
Chapter #12

Bab 12: Dara Makan Dara

Hubunganku dengan Zaki berjalan baik. Tidak ada hari tanpa bertemu walau sekadar menjemputku pulang bekerja. Meskipun hanya sepuluh menit, tapi aku habiskan waktu itu dengan terus menggenggam kuat tangan Zaki. Kami berjalan melewati jalanan kampung yang sudah tidak ada lagi kotoran merpati yang berceceran sambil bergurau. Lalu saat kami akan melewati ibu-ibu yang sedang merumpi, Zaki mengajakku untuk melakukan tiga hal yang Ibu ajarkan padaku.

Aku menundukkan tubuhku, memberikan seutas senyum, dan berucap, “Amet, Bu!”. Mereka terlihat terkejut, tetapi sedetik kemudian senyum tercetak jelas di wajah mereka.

Nggih, Mbak Dara.”

“Pulang kerja ya, Mbak?”

“Pacar e cek ganteng e.”

Zaki menundukkan kepalanya sambil memberikan senyum. Kemudian ia berpamitan untuk kami melanjutkan perjalanan. Ibu-ibu itu sama sekali tidak menghalangi sambil terus memuji hubunganku dengan Zaki yang romantis.

Pacarku itu memang romantis. Mulai dari makam date dengan memberi mawar curian, seporsi es campur untuk berdua, mendeklarasikan bahwa aku pacarnya di lampu merah, photo box, dan memberi se-buket mawar. Kali ini aku juga tak mau kalah romantis darinya, maka aku buatkan gantungan kunci couple yang aku bikin sendiri dengan menggunakan hasil photo box waktu itu.

“Tara! Aku punya hadiah buat kamu.” Sesampainya di depan pagar kontrakan, aku menunjukkan dua gantungan kunci berbentuk love dengan tambahan liontin gitar listrik dan mawar merah. Zaki terkejut melihatnya, lalu dia mengambil dua ganci itu dari tanganku.

Bibir Zaki terus tersenyum melihati gantungan kunci di tangannya. “Ini kamu bikin sendiri, Ra?” tanya Zaki masih tidak mengalihkan fokusnya dari gantungan kunci. Matanya berbinar memandang hadiah romantis dariku.

“Aku beli di olshop, terus aku rakit sendiri. Fotonya juga aku yang gunting sendiri pelan-pelan biar sesuai sama bentuk love-nya. Lucu, kan?”

“Banget. Buat saya satu ya,” katanya menggenggam satu gantungan kunci di tangan kiri dan satu gantungan kunci lainnya dia ulurkan kembali padaku.

Gantungan kunci yang Zaki ambil adalah foto terakhir di mana kami berdua tersenyum lebar setelah sama-sama mengungkapkan perasaan, sementara gantungan kunci yang dia berikan padaku adalah foto pertama di mana Zaki mencium pipiku dengan aku yang melotot.

“Aku mau yang itu, Ki,” kataku sambil berusaha merebut gantungan kunci dari genggaman Zaki, tapi dengan cepat dia mengangkat tangannya ke atas membuatku kesusahan mengambilnya.

“Gamau. Kamu keliatan cantik banget di foto ini, Ra.”

“Kalau aku ambil yang ini, nanti ketahuan Ibu bisa gawat.”

“Gapapa, paling entar saya dipanggil ke rumah.”

“Malah seneng kamu?”

“Apalagi kalau bisa masakin buat Ibu kamu.”

“Ibu tahu yang pengen masakin buat kamu.”

“Saya aja, Ra. Sekalian kamu, kan, pernah bilang mau cobain masakan saya.”

Betul juga. Aku penasaran sekali seenak apa masakan Zaki sampai-sampai dia pede akan memenangkan kompetisi memasak di televisi.

“Boleh, deh. Nanti aku bilang ke Ibu.”

“Yes,” ucap Zaki sambil bereaksi berlebihan seolah memasakkan untukku dan Ibu adalah keinginannya sejak lama.

“Sini gancinya aku cantolin ke gitar kamu biar nggak ilang!” Zaki pun memberikan gantungan kunci yang dia pilih kepadaku, lalu memutar gitarnya menjadi ke depan. Perlahan aku menggantungkan gantungan kunci itu di salah satu tuner. Setelah berhasil tergantung, aku berucap, “Senyumku biar jadi penyemangat kamu main musik, Ki.”

* * *

Pemandangan Ibu memasak dengan porsi banyak biasanya hanya aku lihat sebulan sekali setiap beliau akan menjenguk Mas. Namun sejak siang tadi Ibu terus berkutat di dapur, memasak berbagai macam masakan mulai dari nasi uduk yang baunya meruak ke seluruh rumah, tumis kangkung yang sudah lama tidak pernah aku lihat, tahu dan tempe goreng yang sudah aku lahap beberapa potong hingga membuatku mendapat ceples-an, dan tidak lupa sambal yang Ibu ulek dengan susah payah hingga pelipisnya berkeringat. Meskipun beliau terlihat kelelahan, tetapi Ibu terus tersenyum menyiapkan semua masakan untuk menyambut kedatangan Zaki. Bahkan tadi pagi saat pergi ke pasar, Ibu pamer ke ibu-ibu bahwa calon menantunya yang pintar masak akan datang ke rumah.

Zaki yang baru saja datang dan mendengar ceritaku tertawa. Dia tersipu malu, bersembunyi di belakangku saat masuk untuk menemui Ibu.

“Calon menantu Ibu udah datang, nih.”

Ceples-an mendarat di lenganku, tapi kali ini Zaki yang melakukannya. Dia berbisik kepadaku, “Jangan gitu, Ra. Saya malu.”

Lihat selengkapnya