Hubunganku dengan Zaki berjalan baik. Tidak ada hari tanpa bertemu walau sekadar dia menjemputku pulang bekerja. Meskipun hanya lima menit, tapi aku habiskan lima menit itu untuk terus menggenggam kuat tangan Zaki. Kami berjalan melewati jalanan kampung yang sudah tidak ada lagi kotoran merpati yang berceceran sambil bergurau. Lalu saat kami akan melewati ibu-ibu yang sedang merumpi, Zaki mengajakku untuk melakukan tiga hal yang Ibu ajarkan padaku.
Aku menundukkan tubuhku, memberikan seutas senyum, dan berucap, “Amet, Bu!” ketika melewati ibu-ibu yang lantas melirikku tajam. Mereka tidak terkejut akan aku yang menyapa mereka, tetapi mereka terkejut akan cowok yang aku gandeng. Benar saja, selanjutnya mereka menghadangku dengan pertanyaan, “Pacar e, Mbak?” Pertanyaan retoris yang hanya aku jawab dengan anggukan kepala.
“Mari ngene rabi lak an, Mbak Dara?”
Astaga! Ibu-ibu ini benar-benar membuatku kesal. Aku pun menarik tangan Zaki agar segera pergi dari hadapan ibu-ibu tanpa menghiraukan pertanyaan mereka yang konyol. Namun Zaki malah menahanku, dia maju sambil menyapa ibu-ibu dengan begitu ramah.
“Doakan saja nggih, Bu. Monggo,” jawab Zaki ramah kepada ibu-ibu. Cowok itu kembali membungkukkan badan sebelum akhirnya kami berjalan pergi dari hadapan ibu-ibu kepo.
Sepanjang jalan menuju kontrakan, aku tidak bisa berhenti mendongakkan kepala untuk menatap wajah Zaki yang terus tersenyum. Pikiranku terus bertanya-tanya, apakah hubungan kami akan sampai sejauh yang ibu-ibu tadi tanyakan. Namun, memikirkan hal tersebut rasanya terlalu jauh, hubungan kami bahkan belum ada satu bulan. Daripada memikirkan masa depan yang misterius, lebih baik memikirkan masa sekarang agar tetap romantis.
Zaki suka yang romantis. Mulai dari makam date dengan memberi mawar curian, seporsi es campur dan es cao berdua, mendeklarasikan bahwa aku pacarnya di lampu merah, photo box, dan memberi se-buket mawar. Kali ini aku juga tak mau kalah romantis darinya, maka aku buatkan gantungan kunci couple yang aku bikin sendiri dengan menggunakan hasil photo box waktu itu.
“Tara! Aku punya hadiah buat kamu.” Sesampainya di depan pagar kontrakan, aku menunjukkan dua gantungan kunci berbentuk love dengan tambahan liontin gitar listrik dan mawar merah. Zaki terkejut melihatnya, lalu dia mengambil dua ganci itu dari tanganku.
Bibir Zaki terus tersenyum melihati gantungan kunci di tangannya. “Ini kamu bikin sendiri, Ra?” tanya Zaki masih tidak mengalihkan fokusnya dari gantungan kunci. Matanya berbinar memandang hadiah romantis dariku.
“Aku beli di olshop, terus aku rakit sendiri. Fotonya juga aku yang gunting sendiri pelan-pelan biar sesuai sama bentuk love-nya. Lucu, kan?”
“Banget. Buat saya satu ya,” katanya menggenggam satu gantungan kunci di tangan kiri dan satu gantungan kunci lainnya dia ulurkan kembali padaku.
Gantungan kunci yang Zaki ambil adalah foto terakhir di mana kami berdua tersenyum lebar setelah sama-sama mengungkapkan perasaan, sementara gantungan kunci yang dia berikan padaku adalah foto pertama di mana Zaki mencium pipiku dengan aku yang melotot.
“Aku mau yang itu, Ki,” kataku sambil berusaha merebut gantungan kunci dari genggaman Zaki, tapi dengan cepat dia mengangkat tangannya ke atas membuatku kesusahan mengambilnya.
“Gamau. Kamu keliatan cantik banget di foto ini.”
“Kalau aku ambil yang ini, nanti ketahuan Ibu bisa gawat.”
“Gapapa, paling entar saya dipanggil ke rumah.”
“Malah seneng kamu?”
“Apalagi kalau bisa masakin buat Ibu kamu.”
“Ibu tahu yang pengen masakin buat kamu.”
“Saya aja, Ra. Sekalian kamu, kan, pernah bilang mau cobain masakan saya.”
Betul juga. Aku penasaran sekali seenak apa masakan Zaki sampai-sampai dia pede akan memenangkan kompetisi memasak di televisi.
“Boleh, deh. Nanti aku bilang ke Ibu.”
“Yes,” ucap Zaki sambil bereaksi berlebihan seolah memasakkan untukku dan Ibu adalah keinginannya sejak lama.
“Sini gancinya aku cantolin ke gitar kamu biar nggak ilang!” Zaki pun memberikan gantungan kunci yang dia pilih kepadaku, lalu memutar gitarnya menjadi ke depan. Perlahan aku menggantungkan gantungan kunci itu di salah satu tuner. Setelah berhasil tergantung, aku berucap, “Senyumku biar jadi penyemangat kamu main musik.”
* * *
Pemandangan Ibu memasak dengan porsi banyak biasanya hanya aku lihat sebulan sekali setiap beliau akan menjenguk Mas. Namun sejak siang tadi Ibu terus berkutat di dapur, memasak berbagai macam masakan mulai dari nasi uduk yang baunya meruak ke seluruh rumah, tumis kangkung yang sudah lama tidak pernah aku lihat, tahu dan tempe goreng yang sudah aku lahap beberapa potong hingga membuatku mendapat ceples-an, dan tidak lupa sambal yang Ibu ulek dengan susah payah hingga pelipisnya berkeringat. Meskipun beliau terlihat kelelahan, tetapi Ibu terus tersenyum menyiapkan semua masakan untuk menyambut kedatangan Zaki. Bahkan tadi pagi saat pergi ke pasar, Ibu terus berpamer ke ibu-ibu bahwa calon menantunya yang pintar masak akan datang ke rumah.
Zaki yang baru saja datang dan mendengar ceritaku tertawa. Dia tersipu malu, bersembunyi di belakangku saat masuk menemui Ibu.
“Calon menantu Ibu udah datang, nih.”
Ceples-an mendarat di lenganku, tapi kali ini Zaki yang melakukannya. Dia berbisik kepadaku, “Jangan gitu, Ra. Saya malu.”