“AKU MAU PULANGGG!”
Kepalaku pusing sekali setelah bangun dari efek bius. Meskipun begitu, aku tetap kembali memberontak seperti kemarin. Infus yang menancap di tubuhku bakan sudah aku lepas. Perawat yang melihatku berjalan terhuyung-huyung keluar kamar sambil terus memanggil Ibu lantas segera mendekatiku. Mereka memintaku untuk kembali masuk ke kamar, tetapi aku menolaknya.
Aku semakin memberontak untuk pergi dari tempat ini yang mana membuat dua perawat laki-laki menahanku. Salah satu perawat itu adalah perawat yang kemarin berbicara dengan Ibu dan menyuntikku. Dia terus menyuruhku untuk tetap tenang. Katanya aku akan bisa bertemu Ibu jika menurut.
Bohong. Mereka saja memperlakukanku seperti orang gila. Lantas aku berteriak di depan mukanya, “AKU BUKAN ORANG GILA!!!”
Rasanya kesal sekali saat aku diperlakukan layaknya orang gila. Padahal aku hanya sedang kurang sehat karena semua setiap kali makan aku mengeluarkannya dengan paksa. Akan tetapi, perawat-perawat ini malah menahanku saat aku ingin bertemu Ibu. Mereka bahkan menyuntik obat bius ke lenganku seolah bangunnya aku akan membahayakan bagi orang-orang.
Sekarang pun seorang perawat perempuan juga menghampiriku sambil membawa jarum suntik. Aku pun kembali berteriak, “AKU NGGAK MAU DISUNTIK!! AKU CUMA MAU PULANG!!”
“Kalau Mbak Dara bisa tenang, kami nggak akan suntik Mbak Dara,” ucap perawat laki-laki yang kemarin menyuntikku.
Pasti perawat itu berbohong. Memberontak atau pun tidak mereka akan tetap kembali menyuntikku.
“Akan sulit untuk bisa bertemu Ibu jika Mbak Dara terus begini,” katanya mencoba membujukku lagi.
Namun akhirnya aku menyerah untuk menuruti saja ucapannya. Terlebih lagi aku juga merasa tidak memiliki tenaga lebih untuk memberontak. Badanku semakin lemas. Perutku juga terus berbunyi minta diisi. Kedua perawat itu pun melepaskan tangannya dari lenganku.
Setelah itu, perawat yang kemarin menyuntikku menuntunku untuk kembali masuk ke kamar. Dia membantuku untuk naik ke ranjang, lalu kembali memasangkan infus.
Tidak lama, jatah sarapan untukku datang. Perawat laki-laki itu membukakan meja di ranjang dan menaruh seporsi sarapan milikku. “Habiskan makanan ini biar Mbak Dara cepat sembuh,” katanya sebelum berjalan pergi keluar kamar. Akan tetapi, aku segera menghentikan langkahnya dengan pertanyaan, “Aku nggak gila, kan?”
Melihat bagaimana perawat menahan dan menyuntikkan obat bius, juga Ibu yang malah meninggalkanku alih-alih menjagaku membuat aku sadar bahwa ini bukan rumah sakit umum melainkan rumah sakit jiwa. Fakta itu membuatku bertanya-tanya mengapa Ibu membawaku ke tempat ini saat putrinya ini masih waras?
Perawat itu membalikkan badan, ia kembali berjalan mendekatiku. Dia tersenyum lebar hingga matanya menjadi segaris. “Di dunia ini semua orang pasti pernah berada di fase hidup yang sulit. Saat berada di fase itu, kita enggak bisa menyelesaikannya sendiri atau bahkan membiarkannya. Makanya kami di sini ada untuk membantu Mbak Dara beranjak dari fase itu. Tapi kami enggak akan berhasil jika Mbak Dara tidak ada keinginan untuk bangkit. Jadi, ayo bergandeng tangan untuk kehidupan yang lebih baik.”
Astaga. Jawabannya panjang sekali. Padahal pertanyaanku hanya butuh jawaban ‘iya’ atau ‘enggak’.