Darah Dibalas Dara

Alifia Sastia
Chapter #17

Bab 16: Traffic Light Yellow

Tidak biasanya aku bangun pagi. Sepertinya karena aku terlalu excited untuk pergi dari tempat yang mengurungku ini. Sepertinya karena aku terlalu excited untuk memakan masakan Ibu yang tiada tanding. Sepertinya karena aku terlalu excited untuk membaca novel-novelku yang masih tersegel.

Aku sudah mengemasi barang-barangku. Aku juga sudah berpamitan pada semua perawat yang aku temui, sekaligus meminta maaf atas aksi pemberontakanku yang pasti membuat mereka kelelahan selama ini. Mereka semua menerima permintaan maafku, bahkan menyemangatiku untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.

Setelah itu perawat menyuruhku untuk pergi ke aula karena acara perpisahan kepada para perawat magang akan segera dimulai.

Di aula, aku duduk bersebelahan dengan pasien yang selalu mencoba mendekatiku untuk memberikan permen. Sebenarnya aku tidak ingin duduk di sebelahnya. Namun, dia telah bernegosiasi dengan pasien lain yang terlebih dahulu duduk di sampingku dengan segenggam permen.

“Permen buat kamu. Kali ini rasa stroberi. Kamu suka stroberi, kan?”

Akan gawat jika aku menolaknya. Dia pasti akan kembali memukulku, lalu mengadukanku kepada perawat. Itu akan membuat kegaduhan, sementara sebentar lagi acara akan segera dimulai. Maka aku terima saja pemberiannya. “Terima kasih.”

Dia tersenyum lebar. “Sama-sama.”

Acara perpisahan pun dimulai. Satu persatu perawat magang mengucapkan kalimat perpisahan, tidak terkecuali Nando. Cowok itu menyampaikan kalimat perpisahan yang menghibur para pasien sehingga gelak tawa terdengar. Dia bilang dia begitu nyaman di tempat ini, “Tempat praktik pertama yang aku datangi ini begitu berkesan. Aku dapat bertemu dengan orang-orang hebat seperti kalian semua. Seperti Mbak Leni yang selalu memberiku permen sebagai afirmasi atas kerja kerasku setiap hari. Seperti Mbak Ayu yang selalu mengajakku berjemur setiap pagi agar tubuh selalu bugar. Seperti Mbak Dara yang selalu mengajakku bercerita sehingga merasa seperti sedang berada di rumah.

Di masa depan aku ingin kembali bekerja di sini dan aku harap tidak bertemu kalian lagi di tempat ini. Ada banyak tempat menyenangkan di luar untuk kita bertemu. Sampai jumpa lagi semuanya.”

Acara perpisahan telah selesai. Semua pasien berhambur berpelukan dengan perawat-perawat favorit mereka. Begitu juga aku yang segera bangkit dari duduk untuk mencari keberadaan Nando. Dia terlihat sedang berbincang-bincang dengan dokter dan perawat lain sehingga aku memilih menunggunya.

Sembari aku menunggu Nando, pasien yang suka memberiku permen yang baru aku ketahui namanya adalah Leni terus mengajakku berbincang. Dia menanyakan banyak hal mulai dari pekerjaanku, keluargaku, hobiku, hingga mengapa aku bisa berada di sini. Leni terlalu banyak bertanya hingga membuatku kehilangan jejak Nando. Cowok itu secepat kilat telah hilang dari pandanganku.

Segera aku kembali bangkit untuk melihat ke sekeliling aula yang masih ramai. Barulah aku melihat Nando yang baru saja keluar dari aula. Aku pun membuntutinya. Namun langkahku berhenti saat melihat Nando menemui Ibu di taman. Mereka terlihat begitu akrab seperti sudah lama kenal. Pembicaraan mereka juga terdengar serius sehingga aku tidak berani menampakkan diri dan lebih memilih bersembunyi di balik tembok.

“Nak Nando terima kasih banyak sudah bantu rawat Dara. Kalau enggak ada Nak Nando, Tante pasti khawatir.”

“Sama-sama Tante. Nando juga enggak banyak berbuat apa-apa. Dara mulai membaik karena dia memang ada keinginan untuk pulih.”

“Mama kamu gimana kabarnya?”

“Mama sekarang lebih ceria Tante. Warung pecelnya juga makin rame setelah pindah tempat.”

“Bagus dong. Tante jadi seneng dengernya.”

“Mas Yanto sendiri bagaimana kabarnya Tante?”

“Ya, gitu. Buruk. Dia sering mimpiin Papa kamu. Dia masih merasa bersalah dan memang seharusnya begitu.”

“Itu sudah hampir tiga tahun yang lalu, Tante. Aku dan Mama juga sudah mengikhlaskan kepergian Papa.”

Pembicaraan Ibu dan Nando membuat keningku mengerut.

Aku pun baru teringat cerita Nando kemarin tentang papanya yang meninggal karena dibunuh oleh penjual merpati. Kini, aku jadi teringat Mas Yanto yang dahulu pernah menjadi penjual merpati yang membunuh pembelinya. Dua fakta itu semakin kuat memiliki satu kesambungan setelah melihat kedekatan Ibu dan Nando, juga fakta bahwa kejadian itu sudah terjadi hampir tiga tahun lalu.

“Mbak Dara pertanyaanku belum dijawab.”

Lihat selengkapnya