Aku tertegun melihat meja makan yang begitu penuh dengan berbagai macam masakan. Ada semangkuk capcay kesukaanku, ada sepiring ayam goreng yang bertumpuk-tumpuk, dan juga ada nasi uduk yang wanginya sudah tercium. Bahkan ada es campur dengan banyak macam buah di dalamnya.
“Selamat datang kembali, Dara. Hari ini Ibu masak banyak makanan yang bisa kamu makan sepuasnya,” ucap Ibu menyambutku.
Mataku berkaca-kaca melihat Ibu yang bahagia menyambutku. Aku tahu betul menyiapkan semua masakan itu bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi Ibu sama sekali terlihat tidak kecapekan.
“Ibu udah kayak punya hajatan aja, deh.”
Ibu tertawa. “Kapan lagi, kan, ya? Anggap aja ini syukuran karena putri Ibu udah berusaha keras untuk tetap hidup.”
“Makasih Ibu. Dara akan habisin semuanya.”
Mendengar ucapanku membuat Ibu menjadi semangat. Beliau segera menarik kursi untuk aku duduk. Kemudian beliau mengambilkan makanan untukku. “Ini kamu boleh makan ayamnya lebih dari satu. Semuanya juga boleh, Dara,” kata Ibu saat menaruh sepotong ayam ke piringku.
“Ibu juga makan bareng sama Dara.”
Ibu tersenyum, lalu duduk di seberangku untuk makan siang bersama.
Sudah lama aku tidak makan masakan Ibu. Selama di rumah sakit, masakannya begitu hambar. Aku terpaksa memakannya hingga habis agar bisa segera pulang.
Kini, aku bisa makan masakan Ibu sepuasnya. Air mata yang sejak tadi menggenang akhirnya jatuh juga saat aku memakan masakan Ibu. Bukan hanya karena rasanya enak, tetapi aku juga merasakan seberapa banyak kasih sayang yang Ibu curahkan lewat masakan ini. Aku jadi merasa emosinal. Selama ini aku hanya terpaku pada kehilangan kasih sayang dari Bapak sampai lupa akan kasih sayang yang Ibu berikan.
Semenjak menjadi tulang punggung keluarga, Ibu terus bekerja keras untuk menghidupiku dan Mas. Beliau selalu bangun pagi-pagi belanja ke pasar untuk membeli sayur sekaligus mempromosikan jasa laundry-nya. Usahanya itu sesekali membuahkan hasil. Banyak orang yang datang memakai jasa Ibu sampai menjadi pelanggan tetap. Namun setelah Mas dipenjara, Ibu menutup usaha tersebut dan beralih profesi menjadi pembantu. Dulu aku tidak tahu alasan mengapa Ibu memilih menutup usaha laundry-nya yang sedang ramai, tetapi sekarang aku memahaminya. Ibu tidak ingin kejadian Mas terulang padaku.
Ibu menyadari bahwa perubahan yang terjadi pada Mas, dari yang kutu buku hingga terjerumus pergaulan bebas dikarenakan kurangnya perhatian dan kasih sayang. Ibu terlalu sibuk untuk menjadi tulang punggung keluarga agar aku dan Mas selalu bisa makan-makan enak hingga beliau lupa bahwa kami juga perlu pelukan.
Pelukan kecil seperti saat malam-malam Ibu naik ke ranjangku setelah siang hari memarahiku atau saat beliau masuk ke kamar Mas Yanto sambil membawa sepiring buah.
Kini, Ibu telah berubah. Ibu tidak hanya menjadi tulang punggung keluarga, tetapi juga menjadi malaikat untukku dan untuk Mas Yanto.
“Se-enak itukah masakan Ibu sampai kamu nangis?”
Tangisku makin kencang mendapat pertanyaan itu dari Ibu. Aku pun mengangguk sambil memberikan senyum yang sudah lama tidak pernah aku berikan untuk Ibu.
“Jangan capek buat masakin Dara ya, Bu. Dara enggak akan lagi muntahin masakan Ibu. Janji,” kataku sambil mengacungkan jari kelingking.
Ibu yang duduk di seberangku ikut menitihkan air mata sambil tersenyum. Kemudian beliau melingkarkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku. Hari ini kami telah berjanji untuk saling menyayangi, seperti dulu.
* * *
Selepas keluar dari Rumah Sakit Jiwa, aku menjalani hari-hariku sebagai job seekers. Setiap hari aku selalu mengecek lowongan pekerjaan di media sosial yang beberapa kali mendapat panggilan interview. Namun, tidak kunjung ada yang memanggilku untuk mulai bekerja.
Sebulan lebih aku nikmati waktuku sebagai pengangguran hingga di bulan kedua akhirnya aku mendapat panggilan kerja. Ibu senang sekali saat aku beri kabar bahagia itu, katanya, “Akhire kamu enggak jadi gumbal amoh maneh, Ra.”
Aku juga senang sekali akhirnya bisa melakukan kegiatan baru, tidah hanya tidur di kasur seperti gombal amoh kata Ibu. Kali ini aku tidak lagi menjadi waiters, melainkan sebagai pet groomers. Ternyata pekerjaan ini cocok sekali untukku meskipun setiap hari selalu mendapat cakaran dari klien—tanda terima kasih mereka kepadaku yang telah membersihkan mereka.
Pagi ini, aku sedikit terlambat karena semalam bergadang membaca novel. Ini bukan kali pertama, jadi aku sudah sangat-sangat siap dengan segala konsekuensi yang ada. Tapi kalau bisa, sih, jangan sampai dipecat.
Suara lonceng klinik berbunyi kala aku mendorong pintunya. Mbak Selvi, resepsionis klinik ini langsung menoleh ke arahku. Dipergoki seperti ini hanya bisa membuatku menyengir sambil perlahan masuk ke dalam persis seperti anak sekolah yang terlambat.
“Telat lagi, Ra?”
Aku hanya tersenyum hingga memperlihatkan gigiku sambil menutup pintu. Mbak Selvi yang memergokiku mencoba diam-diam masuk hanya menggeleng-gelangkan kepalanya.
“Mbak Dara?”
Mataku melotot saat customer yang tadi tengah berbincang dengan Mbak Selvi menoleh dan memanggilku. Bukan karena dia tahu namaku, tetapi karena orang itu adalah Nando.
“Nando?”
“Mbak Dara ngapain di sini?”
“Aku kerja di sini?”
“Oh, ya? Sejak kapan?”
“Udah hampir lima bulanan ini. Kamu sendiri ngapain ke sini?”
“Kaki Dodo luka. Udah beberapa hari ini dia enggak bisa terbang.”
Mendengar nama Dodo membuat jantungku berdetak cepat. Pandanganku pun beralih pada Dodo yang berada dalam kandang burung di samping kaki Nando. Dia terlihat diam seperti sedang tidur. Aku pun melangkah mendekat untuk berjongkok melihat Dodo lebih dekat.
Saat aku memasukkan jariku dan menyentuh kepalanya yang menunduk, Dodo terbangun. Dia mendongakkan kepalanya dan melihatku. Detik berikutnya saat aku mencoba mengeluarkan jariku, Dodo malah mendekatkan kepalanya seolah memintaku untuk mengusap-usap kepalanya seperti dahulu saat dia makan dengan lahap. Melihat Dodo membuatku jadi merasa emosional. Ternyata aku begitu merindukan Dodo.
* * *
Pertemuanku dengan Nando hari itu membuat kami menjadi dekat. Nando selalu menghubungiku untuk menanyakan mengenai keadaan Dodo. Sudah semingguan Dodo dirawat di klinik. Setiap harinya Dodo terlihat makin membaik. Bahkan siang tadi Dodo sudah bisa terbang saat aku memancingnya dengan segenggam jagung—makanan favoritnya.