Darah Dibalas Dara

Alifia Sastia
Chapter #21

Epilog

Pagi ini, Ibu mengajakku pergi ke makam Bapak sebelum aku berkuliah ke Yogyakarta. Katanya Ibu mau pamer ke Bapak karena beliau akhirnya berhasil menyekolahkanku hingga kuliah. “Bapakmu harus tahu, Ra, kalau tanpa main judi aja Ibu bisa kuliahin kamu,” katanya selama dalam perjalanan di atas becak.

Sesampainya di pemakaman, kami berdua pun turun dari becak. Ibu memberikan selembar uang dua puluh ribu yang diterima tukang becak dengan senyum sumringah. Tukang becak itu bahkan mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil perlahan berjalan pergi.

Aku dan Ibu pun masuk ke pemakaman yang sepi. Ibu berjalan di depanku untuk menuntunku mencari jalan yang nyaman di pemakaman yang padat ini. Sembari berjalan Ibu juga memintaku untuk melihat ke bawah, mencari bunga kamboja berkelopak enam.

“Emangnya kalau nemu bunga kamboja kelopak enam bakal jadi kaya, Bu?”

“Bukan kaya, Ra. Tapi apa yang kamu mau bisa terkabul.”

“Lah, iya, sama aja, dong, Bu. Kalau Dara maunya kaya, kan, berarti bakal dikabulin. Tahu gitu, dulu Bapak kenapa enggak nyari bunga kamboja kelopak enam aja,” celetukku.

“Iya, ya. Pasti sekarang Ibu udah jadi ibu-ibu arisan yang gelangnya sampai ketiak, Ra,” kata Ibu membuat semburat tawa keluar dari mulutku.

Ibu yang juga tertawa men-ceples nisan Bapak. “Harusnya kamu dulu tanya aku dulu, Mas. Enggak pernah mau nurut sama istri jadi mati duluan, kan.”

Ternyata, sudah meninggalkan pun masih bisa mendapat ceples-an dari Ibu.

“Eh, ini siapa yang naruh mawar di makam Bapak, Ra? Kamu?” tanya Ibu yang membuatku segera mengecek mawar yang Ibu tunjuk.

Di bawah nisan Bapak, ada setangkai bunga mawar merah yang masih terlihat segar, seperti baru saja seseorang menaruhnya di sana. Bunga mawar yang identik dengan bentuk cinta Zaki membuatku yakin jika cowok itulah yang menaruhnya di makam Bapak.

“Iya, Bu,” jawabku berbohong.

Melupakan mawar merah itu, Ibu pun menyuruhku untuk membersihkan makam Bapak dari daun-daun kering. Sementara Ibu menyiram nisan Bapak dengan air yang beliau bawa. “Kamu masih ingat nggak, Ra? Dulu bapakmu kalau pulang narik siang-siang buat makan pasti siram kepalanya pakai air kran.”

“Masih, Bu. Dara juga sering lakuin itu.”

“Kamu emang mirip banget sama bapakmu, Ra. Lesung pipi, suka bantu orang, pencinta hewan, bahkan sampai ngorokmu pun mirip bapakmu.”

“Kapan Dara ngorok?!”

“Kamu tidur mana tahu.”

Aku memutar bola mataku. Mungkin memang sepertinya aku sesekali pernah mendengkur. Tapi, masa sih mirip Bapak?

Masalahnya suara dengkuran Bapak begitu keras mirip seperti babi. Mana mungkin dengkuranku seperti dengkuran bapak-bapak. Ibu pasti melebih-lebihkan saja.

“Kamu tahu kenapa Bapak kasih nama kamu Dara?” tanya Ibu yang aku jawab dengan gelengan kepala.

Selama Bapak masih hidup, aku belum pernah bertanya mengapa beliau memberiku nama Dara. Pernah aku menebaknya bahwa kemungkinan karena Bapak begitu menyukai burung dara.

“Karena bapakmu suka warna merah, Ra.”

Lihat selengkapnya