“Gajima! Gajima!!” di ruang tengah terdengar suara televisi yang sedang menayangkan drama korea sedih episode terakhir. Nadira yang lebih sering di panggil Dira-yang sedang fokus menonton televisi-duduk di sofa dengan kedua tangan memeluk bantal. Sementara Nata-sahabatnya-duduk di lantai dengan ekspresi malas. Dira sudah menonton lebih dari tiga episode malam ini karena ia bilang ingin cepat menyelesaikannya.
Nata menghela napas panjang karena sudah merasa bosan. “Ra! Gak ada tontonan lain apa? Nontonnya ini terus,” keluh Nata untuk yang kesekian kalinya karena sejak tadi ia sudah meminta untuk mengganti tontonan mereka malam ini.
“Gak ada! Ini episode terakhir. Nanggung!” Dira menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi sedikit pun.
Adiksinya pada drama korea sudah tidak bisa dilawan dengan apa pun. Bahkan Nata-sahabat yang sudah belasan tahun tinggal di sebelah rumahnya-tidak bisa mengubah apa yang menjadi kesukaannya itu. Hampir setiap hari mereka berdua mengunjungi rumah satu sama lain. Dan setiap kali Nata berkunjung ke rumah Dira, tak jarang Dira akan mengajaknya menonton drama korea. Kalau pun tidak menonton drama, kadang Dira bercerita di kamarnya yang penuh dengan foto idola-idola dari korea selatan sambil mendengarkan lagu kesukaan mereka berdua. Tapi lebih seringnya mereka mendengarkan lagu k-pop kesukaan Dira dan karena saking seringnya, kadang Nata juga jadi ikut menyukai lagu-lagu k-pop.
Seperti hari ini, episode terakhir drama korea kesukaannya sudah tayang dan ia harus menonton saat ini juga bersama Nata meski Nata tidak terlalu ingin menonton. Sebagai sahabat dan laki-laki yang baik, Nata memillih diam dan mengikuti Dira. Ia duduk dan menatap televisi untuk ikut menonton drama itu dengan perasaan malas yang harus ia lawan. Setelah beberapa episode dilalui, Nata sudah tidak kuat. Ia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dapur rumah Dira untuk mengambil camilan yang bisa ia makan. Ia pun membuka rak makanan, meneliti ke dalamnya dan hanya menemukan banyak makanan pedas kesukaan Dira, mulai dari makaroni sampai keripik singkong yang level pedasnya di atas rata-rata kemampuan lidah manusia. Ini sudah yang kesekian kalinya Nata ke dapur dan mengambil camilan sampai camilan manis dan gurih sudah habis dan tersisa makanan-makanan pedas itu. Nata pun menutup kembali rak makanan dan berjalan menghampiri kulkas. Saat membuka kulkas, pandangannya langsung terarah pada sekotak es krim yang masih baru. Ia mengambilnya kemudian kembali ke ruang tengah setelah mengambil sendok makan.
Nata menyuapkan sesendok es krim ke dalam mulutnya sambil terduduk di sebelah Dira-kembali menonton meski malas.
“Ra, ada camilan yang gak pedes lagi, gak? Di rak abis!” tanya Nata.
“Ada di kamar!” jawab Dira dengan suara parau.
Tak lama setelah Dira menjawab, terdengar suara isak tangis di sebelah Nata; Dira menangis. Nata menengok ke sebelahnya perlahan dengan sendok es krim yang masih tersangkut di mulutnya.
“Ra! Lo kenapa?” tanya Nata yang berwajah heran dan perasaan khawatir. Tapi Dira tetap fokus menonton dan menangis. Nata menengok ke televisi, ia melihat sebuah adegan dua orang sedang berpelukan dan menangis. Melihat itu, Nata mendecakkan lidahnya dan menghela napas. Ia kira Dira menangis karena terjadi sesuatu. Ternyata, ia menangis hanya karena adegan drama yang sedang ia tonton. Karena jengkel melihat Dira begtu, Nata mengambil sesendok es krim dan menyuapkannya pada Dira yang sedang berisak tangis. Dira menerimanya. Ia melahap es krim tapi tangisnya tidak berhenti.
Nata membiarkannya. Ia memilih untuk fokus memakan es krim. Setelah es krimnya habis, ia mengambil makanan yang tidak pedas di kamar Dira dan kembali ke ruang tengah. Setelah waktu berlalu begitu lama, akhirnya, acara yang ditonton Dira selesai. Dira membantingkan tubuhnya di sofa untuk berbaring telungkup; melanjutkan isak tangisnya, sesekali ia berteriak kesal sambil menendang-nendangkan kakinya pada Nata yang sedang duduk di sebelahnya. Nata hanya diam dengan tatapan malasnya dengan toples keripik kentang di tangan dan mulut yang mengunyah. Tubuhnya terguncang karena Dira menendangnya dengan sangat keras. Tak lama kemudian Dira bangkit dan duduk diam.
“Udah nangisnya?” tanya Nata dengan tangan yang mematikan televisi. “Sekarang dia kenapa?” sambung Nata bertanya lagi karena ia sudah tahu Dira menangis karena nasib tokoh utama dalam drama.