Pagi-pagi sekali, Dira sudah menghampiri rumah Nata yang ada di sebelah rumahnya. ia sudah berada di depan pintu rumah Nata dan memanggilnya agar segera keluar. Meski pun rumah mereka terpisah dan memiliki gerbang masing-masing, tapi di tembok pemisah antara kedua rumah, ada sebuah gerbang besi sebesar pintu yang sengaja dibuat karena Nata dan Dira yang terlalu sering berkunjung ke rumah satu sama lain. Bahkan orang tua mereka terganggu dengan bel gerbang yang selalu dibunyikan berkali-kali setiap hari. Karena hal itulah gerbang kecil itu dibuat. Dan karena hal itu, Dira sudah berada di depan pintu rumah Nata dan memanggilnya sambil mengetuk pintu untuk mengajaknya pergi.
Teriakannya ampuh. Beberapa saat kemudian, Nata keluar dari rumah dengan wajah lemas dan mengantuk, rambutnya acak-acakan juga mata yang hanya terbuka segaris.
“Huaaaammmmhhh….” Nata menguap sambil menggeliat dan menggaruk badannya. “ada apa Ra? Ini masih pagi.”
“Buruan siap-siap. Kita joging.” Dira berlari kecil di tempat dengan semangat.
“Gak ah. Males! Udah. Gue mau lanjut tidur.” Nata berbalik tapi Dira dengan sigap memegang tangannya.
“Nat… ayo dong please… lo gak liat gue udah cakep gini mau olahraga?!” Dira berdiri tegak memperlihatkan penampilannya dengan anggun. Ia sudah memakai pakaian olahraga lengkap dengan rambut pendeknya yang sudah terikat rapi. Tak lupa sepatu lari yang masih terlihat bersih yang entah kapan terakhir kali sepatu itu dipakai.
Meski pun Dira mencoba membujuknya, Nata tidak berkutik dari keputusannya. Ia berjalan masuk kembali. Dira masih memegang dan menarik tangannya-mengikutinya ke dalam rumah.
“Nat~ aaaaaa~ Nata!” bujuk Dira sambil mengguncang tubuh Nata berusaha membuatnya setuju untuk keluar pagi ini.
Nata berhenti di depan kamarnya. Ia menghadap ke arah Dira dengan wajah mengantuknya. Mulutnya menguap sebesar gua jepang. Sambil mendorong wajah Dira menjauh, dengan tegas ia berkata, “Gaaaaaak!” Nata kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.
“Ah! Gak seru lo! Ya udah deh. Gue balik lagi aja kalau gitu,” ketus Dira yang langsung berjalan pergi keluar dari rumah itu untuk kembali pulang ke rumahnya.
****
Nata berbaring kembali di kasur untuk melanjutkan tidurnya. Saat ia baru memejamkan mata, seketika matanya terbelalak kembali. Ia menghela napas panjang sambil menepuk jidat kesal. “Aaaakkkhhh Nadira…” keluhnya. Jika mengingat permintaan Dira tadi, ia jadi merasa tidak enak karena telah menolaknya. Dengan gegas ia pun bangkit dari kasurnya untuk mencuci wajah dan mengganti pakaian sebelum kemudian ia keluar dari rumahnya menuju rumah Dira.
“Ra… Dira…!!!” dari luar rumah Dira terdengar suara Nata berteriak. Dira yang sedang duduk malas di ruang tengah-setelah tidak jadi pergi-berjalan ke arah pintu.
“Apaan?!” teriak Dira kesal sambil membuka pintu dengan kencang. Ia menatap tajam pada Nata yang sedang berdiri di depan pintu.
“Ayo buruan!” ajak Nata yang sudah memakai kaus, celana pendek, topi dan sepatu lari.
“Gak ah. Udah males,” Dira menolak dengan lesu dan berbalik hendak masuk. Nata menahan tangannya, “Ra… ayo buruan… ini gue udah siap-siap lho. Abis lari gue jajanin bubur deh.”
“Oke ayo!” Dira langsung setuju setelah mendengar Nata berkata begitu. ia menarik tangan Nata cepat. Nata hanya terkekeh sambil menggelangkan kepala ketika mengikuti Dira yang menarik tangannya menuju keluar rumah.
****
Setelah lari cukup jauh dari kompleks rumah mereka, Nata menepati janjinya-mengajak Dira makan bubur. Baru beberapa menit bubur tersaji di hadapan mereka, Dira sudah makan dengan lahap seperti seseorang yang baru menemukan makanan setelah berhari-hari.
“Nambah boleh ya, Nat?” tanya Dira sambil menyuap bubur yang masih tersisa setengah mangkuk.
“Ataga, Ra… itu juga belum abis…”
“Bentar lagi juga abis, Nat.”
“Ishh… buat apa lo olahraga kalau makannya tetep banyak?!”
“Olahraga buat jaga kesehatan. Makan banyak buat ilangin laper. Jangan kebanyakan ceramah deh. Jadi intinya boleh nambah atau enggak?”
“Iya deh... Teserah!”
Nata menuruti keinginan sahabatnya itu. Ia membiarkan Dira memesan seporsi bubur ayam lagi. Setelah itu, ia hanya memerhatikan Dira yang sedang makan dengan lahap sambil sesekali tersenyum. Dira yang menyadari hal itu balas menatapnya.
“Apa?! Masih mau? Pesen lagi gih! Tenang aja…. lo yang bayar kok,” ujar Dira.
“Iya. Gue yang bayar. Makannya lo jangan pesen lagi.”
“Yah… padahal kayaknya gue belum kenyang.”
“Ra…” keluh Nata lemas. “Habis ini kita harus jalan lagi buat pulang. Jangan kekenyangan. Tempat ini jauh lho.”
“Gak apa-apa. Kan bisa digendong.”
“Ogah. Lo tahu kan badan lo gemes. Kalau digendong tinggi badan gue bisa berkurang.”
“Iya sih. Kasihan juga gue kalau liat lo harus gendong badan gue yang sekecil anak gajah ini.”
****
Nata kalah lagi. Sepulangnya dari tempat makan bubur, ia harus menggendong Dira yang tidak kuat berjalan karena perutnya terasa sakit saat tengah berjalan.
“Sorry,” Dira meminta maaf dengan dagu yang bersandar di bahu Nata. Ia sadar betul dengan berat badannya, jadi ia kadang merasa tidak tega jika sudah melihat Nata kelelahan saat menggendongnya, terlebih lagi saat ini mereka baru selesai lari pagi.
“Hmmm….” Nata tidak mampu berkata apa-apa lagi karena tubuhnya sudah terasa seperti tertindih jin.
“Udah. Udah turun, Nat!” Dira memukul-mukul lengan Nata agar menurunkannya.
“Kenapa? Masih jauh ini… mau makan lagi?!” Nata menengok sejenak ke belakang.
“Astaga, seuzon banget deh lo. Udah… turun aja.”