Dari Allah Menuju Allah

Noura Publishing
Chapter #1

Prolog

Kata Pengantar

Awal kisah pembuatan buku ini bermula dari keluhan beberapa pembaca buku saya bahwa mereka kesulitan memahami cuplikan­cuplikan puisi Rumi yang termuat dalam dua buku saya, Belajar Hidup dari Rumi dan Mereguk Cinta Rumi. Sebenarnya, saya sudah menyertakan semacam syarah ringkas atas cuplik­an-cuplikan puisi tersebut. Me­­mang sangat ringkas, karena keengganan saya untuk terlalu jauh meng-“intervensi” keindahan dan dam­pak puisi-puisi Rumi, yang justru mendapatkan kekuatan dari keringkasan dan efi­siensinya. Kebetulan, keluhan yang terakhir saya teri­ma mampir di lini-masa akun Twitter saya di hari-hari menjelang bulan Ramadhan tahun 2018 ini. Maka, tanpa berpikir panjang, saya janji­kan untuk membuat seri video Youtube untuk mensyarah puisi-puisi Rumi tersebut, paling tidak sebagian darinya.

Tibalah malam hari 1 Ramadhan. Nyaris tanpa persiapan, saya minta beberapa orang anggota tim Pesan­tren Tasawuf Virtual Nur al-Wala—yang bahkan be­lum di-launch—untuk memulai taping seri Belajar Hidup dari Rumi itu. Seadanya. Hingga berlangsung 31 kali sampai hari terakhir Ramadhan.

Nah, ketika mau mulai, saya pun berpikir, bagaimana cara memilih hanya sekitar 30-an cuplikan puisi Rumi dari ratusan yang ada di dalam buku Belajar Hidup dari Rumi? Lebih-lebih, menjadikan syarah atasnya pintu gerbang untuk memampukan pembaca memahami puisi-puisi Rumi secara keseluruhan. Maka, saya pun memulai dari puisi pertama yang termuat dalam Matsnawi Rumi, yang kebetulan juga saya muat sebagai cuplikan puisi pertama dalam buku saya tersebut. Yakni, puisi tentang nay (seruling). Dan bukan kebetulan jika puisi tersebut menjadi pembuka Matsnawi, karena kandungannya me­mang tentang kerinduan manusia untuk kembali kepada Sumbernya, Tuhan. Kerinduan itu adalah dorongan awal bagi perjalanan kembalinya ke­pa­da Dia. Itulah perjalanan tasawuf, itu­lah suluk. Dari situ saya mendapatkan ga­gasan untuk menjadikan kajian ten­tang perjalanan tasawuf sebagai benang merah syarah saya atas cu­plikan-cuplikan puisi Rumi tersebut. Dan dengan cara itu, saya pun memilih secara berturutan cu­plik­­an puisi Rumi yang dapat menggambarkan tahapan-tahapan dalam perjalanan tasawuf tersebut.

Maka, jadilah 30 plus 1 episode pem­bukaan seri Belajar Hidup dari Rumi di Youtube. Meski ham­pir-ham­pir tidak dipromosikan, sam­butan re­kan-rekan yang sempat me­mir­sanya sangatlah baik. Mereka me­rasa bukan saja bisa memahami cuplikan-cup­likan puisi Rumi yang disyarah dalam seri video tersebut, tetapi juga mendapatkan pe­mahaman tentang tasawuf dari situ. Hal ini lebih jauh memantik gagasan baru untuk men­transkrip seri ini, me­­nyun­ting, dan menerbitkannya se­­­­ba­gai buku. Ber­untunglah saya me­­­mi­liki seorang asis­ten yang pa­ham tema yang dibahas dan cakap da­lam menyunting. Setelah sele­sai ditranskrip oleh tim penerbit, Saudara Azam Bahtiar—asisten saya itu—menyuntingnya: menyesuaikan dari bahasa lisan ke bahasa tulis, dan menghilangkan bagian-bagian yang terulang. Proses berjalan cepat, antara lain karena saya pun ingin tema berat yang dibahas dalam buku ini tetap tersampaikan dengan bahasa populer.

Maka, sampailah buku yang saya ju­duli Dari Allah Menuju Allah: Belajar Tasawuf dari Rumi ini ke tangan para pembaca yang budiman. Saya tak meminta kritik (meski tentu amat terbuka jika ada kritik). Saya hanya berharap, buku sederhana ini bisa menjadi kendaraan saya dalam menyajikan ajaran tasawuf/‘irfân dalam ben­tuk bacaan yang bisa dinikmati—se­tidak­nya tidak membosan­­kan. Te­rima kasih atas kepercayaan pem­baca. Mohon maaf jika ada kekurangan di sana-sini. Semoga, dalam segala ke­terbatasan­nya, buku ini dapat me­nebarkan manfaat kepada para pem­bacanya. Dan, untuk itu, saya ber­syukur kepada Allah Swt. atas segala karunia, hidayah, dan ‘inâyah-Nya yang memungkinkan buku ini lahir ke dunia. Alhamdulil-Lâhi Rabbil ‘âlamîn ….

Tawangmangu, 29 September 2018

Haidar Bagir

Lihat selengkapnya