Kita harus memahami bahwa di dalam Wahdah al-Wujûd atau Tawhîd Wujûdî, alam semesta ini dianggap sebagai tajallî Allah, yakni sebagai pengungkapan-diri Allah. Karena itu, sesungguhnya alam semesta ciptaan Allah ini adalah cermin Allah. Maka, Zat Allah yang tersembunyi itu termanifestasi di dalam alam semesta: seolah-olah alam semesta itu menangkap hakikat Allah yang tersembunyi. “Maka Kucipta cermin”, yang tak lain adalah alam semesta.
“Mukanya yang cemerlang, hati. Punggungnya yang gelap, dunia”. Muka cermin adalah bagiannya yang bening, yang memantulkan citra objek di depannya; sementara punggungnya adalah bagian cermin yang gelap. Karena itu dikatakan, “Mukanya yang cemerlang, hati”.
Dalam konteks manusia, muka cermin yang bening itu adalah hati; sementara punggungnya yang gelap adalah dunia. Sayangnya, kata Rumi, “Punggungnya kan memesonamu jika tak pernah kaulihat mukanya”.
Kita sering terpesona oleh hal-hal yang sebetulnya gelap, hal-hal yang sebetulnya justru menjadi hijab bagi pengenalan kita akan hakikat. Apa itu? Kesenangan duniawi, yang kepadanya nafsu rendah kita selalu mendorong untuk menghabiskan waktu dan menyibukkan diri dengannya.
Padahal, sesungguhnya hakikat pencerahan kebahagiaan kita terletak di dalam hati—yang di dalamnya Allah ber-tajallî. Dalam sebuah hadis, Allah berfirman: “Langit dan bumi tidak mampu menampung-Ku, yang mampu menampung-Ku adalah hati orang Mukmin”.