Shena berlari menuju lokernya sembari menangis. Ia mengambil seragam olahraga di dalam loker, tapi sayangnya tidak ada pakaian apapun. Sepertinya, Cindi juga ikut menyingkirkan barang-barangnya dengan mengambil kunci loker dalam tasnya.
Tidak banyak siswa melihat keadaan Shena karena pada saat itu pelajaran sedang berlangsung.
"Shen, lo nggak apa-apa kan?" tanya Bela. Ia langsung memeluk Shena dalam keadaan kotor itu. Shena berusaha menyingkirkan Bela agar dia tidak ikut bau, tapi Bela semakin mengencangkan pelukannya.
"Lo boleh nangis, Shen. Kalau Cindi gangguin lo lagi, bilang ke gue!"
"Kenapa semuanya jadi berantakan kayak gini sih, Bel. Salah gue apa?" Suara Shena melemah.
Sambil terisak-isak Shena masih dalam dekapan Bela, sampai akhirnya Anres datang membawakan seragam olahraga miliknya.
"Shen, pakai seragam gue aja dulu. Biar lo bisa masuk kelas," ucap Anres pelan sembari menatap Shena dengan tatapan mendalam. Hatinya hancur melihat penampilan Shena yang berantakan.
"Gue nggak butuh belas kasihan dari lo! Urus aja diri lo sendiri!"
Bela kebingungan sendiri kenapa jadi Anres yang disalahkan. Bukankah hubungan keduanya sudah membaik?
Sudahlah, bukan itu yang terpenting. Ia harus memastikan Shena mengganti seragamnya dulu.
Bela mengambil seragam olahraga dari tangan Anres. "Lo bisa pergi, Res. Shena biar gue yang urus."
Anres mengangguk. "Titip ya, Bel."
Bela mengangguk. Perlahan mengajak Shena menuju toilet lain.
****
Anres menyenderkan tubuhnya pada motornya sembari menunggu kepulangan Shena. Namun, sekolah sudah begitu sepi, tidak ada tanda-tanda siswa yang keluar dari sekolah lagi, tapi Anres belum melihat batang hidung Shena, Bela juga.
"Pak, Shena udah pulang atau belum ya?" tanya Anres pada Pak Satpam.
"Mana saya tahu. Emang tugas saya penjaga kepergian dan kepulangan Shena?!"
Tak kunjung mendapatkan Shena. Akhirnya, Anres pulang dengan sendirinya.
Setelah kepergian Anres, barulah Shena keluar gerbang sekolah. Sedari tadi, Shena memang menunggu kepergian Anres dari sekolah agar ia bisa leluasa mencari tumpangan pulang. Jalan satu-satunya adalah menelpon supir angkot pribadinya.
"Halo, Pak Sapto. Jemput Shena di sekolah ya. Shena tunggu sekarang juga."
"Kalau perginya dengan Kang Anres ya pulangnya dengan dia atuh Neng."
"Mau Shena bilang Kak Leon atau enggak!"
"Iya iya. Pak Sapto jemput, tunggu. Jangan kemana-mana."