Seorang anak laki-laki berparas campuran Bangsa kulit putih itu tampak berdiri di tengah jalanan sebuah kota kecil. Dia melayangkan pandangannya kesana kemari dengan wajah iba. Tak kuasa hati polos yang masih murni itu menahan kesedihan melihat pemandangan di depannya.
Puing-puing bangunan berserakan, banyak pecahan kaca di bawah kakinya, dan tampak asap mengepul dari sisa pembakaran mobil dan beberapa sepeda motor di tepi jalan.
Tidak banyak orang yang berlalu lalang, namun dari sedikit orang itu semuanya adalah tentara. Mereka baru saja mengamankan sekelompok orang yang membuat kerusuhan di jalanan kota itu.
"Ayo, Sam! Kita harus segera ke posko pengungsian." Seru seorang pria berpakaian rapi dan berkaca mata itu.
"Papa, keadaan di sini sangat kacau."
"Itulah alasan kenapa Papa ditugaskan disini, Sam." Digandengnya putranya itu menuju mobil tentara diujung jalan.
"Kenapa Papa mau? Papa kan dokter terkenal di Rumah Sakit tempat Papa bekerja selama ini, disana nyaman. Kenapa mau repot-repot datang kesini?"
"Terkadang, minimal sekali seumur hidup, lakukanlah misi kemanusiaan."
"Bagaimana kalau ditempat bahaya seperti ini kita justru kenapa-napa dan meninggal seperti mama, pa?"
Seketika langkah kaki dokter yang tampak masih muda itu pun terhenti. Pikirannya melayang mengingat mendiang istrinya yang juga seorang dokter.
Dua tahun lalu istrinya meninggal saat melakukan misi kemanusiaan menolong korban bencana alam, di kota ini. Kota kenangan terakhir ia bertugas bersama istrinya.
Kini, dia ada di sini bersama putra mereka yang baru berusia enam setengah tahun. Tahun lalu ia datang sendiri ke kota ini untuk mengunjungi makam istrinya. Dan tahun ini, putranya ikut serta karena tidak ada yang menjaganya bila ia pergi untuk tugas yang entah akan berlangsung berapa lama. Akan tetapi, kali ini bukan bencana alam yang menyambutnya dan putranya, namun konflik dan kerusuhan hebat yang mampu menelan korban jiwa.
"Papa," tegur anak laki-laki bernama Samudra itu.
"Ah, ayo jalan! Kita sudah ditunggu oleh para tentara yang akan mengantarkan kita ke posko pengungsian." Disekanya mata yang nyaris basah karena kenangan sendu.
Mereka pun masuk ke dalam mobil tentara dan mulai melaju menuju posko pengungsian.
***
"Dokter Gunawan, Anda sudah tiba." Ucap seorang pria menyambut kedatangan dokter muda dan putranya itu.
"Iya, dr. Rama. Lama kita tidak berjumpa." Ucapnya sembari berjabat tangan dengan kawan lamanya itu. "Sebaiknya kita segera memeriksa para pasien."
"Baiklah, mari saya antar."
"Sam, jangan jauh-jauh dari tenda, ya! Papa akan memeriksa pasien dulu."
"Papa tenang saja. Sam hanya akan melihat-lihat sekitar tenda."
"Baiklah, Papa percaya padamu." Ucapnya sebelum beranjak ke salah satu tenda bersama dr. Rama.
Samudra pun mulai menoleh kesana kemari untuk melihat-lihat. Pandangannya jatuh pada salah satu tenda dimana ada seorang anak perempuan manis berambut kriting tengah duduk di kursi roda. Sam pun akhirnya membawa langkah kakinya untuk menghampiri anak perempuan tersebut.
"Apa kamu lihat-lihat?" Ucap anak itu ketus.
Samudra hanya tersenyum melihatnya, yang justru membuat anak itu sebal.
"Kamu senyum-senyum meledek ku karena aku tidak bisa berjalan ya?"
"Aku tidak meledekmu." Serunya sembari mendekat dan berdiri di hadapan anak itu. "Papa ku seorang dokter. Dia pasti bisa mengobati kaki mu."
"Sekarang kamu menyombongkan diri kalau kamu anak seorang dokter."