Mentari baru saja terbenam ketika kami menutup silaturahim di aparteman seorang sahabat di Delft Belanda. Silaturahim berbentuk pengajian dengan bonus makan-makan alias "proyek perbaikan gizi mahasiswa". Ini memang kebutuhan yang tak terhindarkan bagi warga Delft. Sejalan dengan waktu, satu persatu rekan yang tempat tinggalnya jauh mulai berpamitan. Sementara saya dan beberapa teman masih enggan beranjak dari tempat duduk. Kami terkesima mengamati seorang bapak, salah seorang sahabat kami, yang sedang mengasuh putrinya yang masih kanak-kanak. Bapak itu tengah bermain dan bercanda dengan buah hati kesayangannya. Sang putri terlihat begitu asyik menikmati guyonan dan bulir-bulir kebijaksanaan yang keluar dari lisan ayahnya. Sedangkan sang ayah kelihatan sangat menghayati perannya. Sesekali sang putri kecil melotot tajam ke ayahnya, pertanda tak setuju. Terkadang wajahnya cemberut manja, sewot saat sang ayah melarangnya. Namun, sesaat kemudian rona bahagia kembali terpancar di wajah riangnya.
Hubungan ayah dan putrinya memang khas. Bila pada anak lelaki dibebankan berjuta harapan, kebanggaan serta idealisme maka hubungan ayah dan putrinya lebih mengarah pada keakraban sentimentil-psikologis yang sangat eksklusif dan sulit dideskripsikan. Begitu unik, namun halus hingga sering luput dari pengamatan. Hubungan kasih sayang yang sepertinya hanya dipahami oleh sang ayah dan putrinya itu sendiri. Ayah dan putrinya seolah memiliki bahasa dan dunia tersendiri bagi arena cinta mereka. Bahkan ada pendapat yang mengatakan, “Seorang ayah adalah cinta pertama bagi putrinya.”
∞
Tarikan kasih sayang yang begitu kuat ditemukan pada hubungan antara Rasulullah Saw. dan Fatimah Az-Zahra r.a., putrinya. Rasulullah menyimpan cinta yang mendalam pada seorang wanita terbaik sepanjang masa ini. Jika Fatimah datang menemui Nabi Saw., beliau akan menyambut dan menciumnya, lalu didudukkannya di tempat beliau duduk. Kedekatan ini membuat Rasulullah sangat memahami Fatimah. Kegembiraan Fatimah adalah kegembiraan Rasulullah. Demikian pula sebaliknya, kesedihan dan kerisauan Fatimah adalah kesedihan bagi beliau. Pembelaan Rasulullah menjadi haknya. “Fatimah merupakan belahan diriku. Siapa yang menyakitinya, berarti menyakitiku” (HR Muslim). Dalam hadis yang serupa disebutkan, “Fatimah adalah bagian dari diriku; apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti hatiku juga.” Bahkan, melihat keakraban Rasulullah dengan Fatimah, Aisyah r.a. pun acapkali dibuat cemburu.
Fatimah mewarisi banyak kemuliaan dari ayahnya. Sebagaimana suaminya, Ali bin Abi Thalib karamâllâhu wajhahu, Fatimah tumbuh dalam didikan Rasulullah. Disitulah transfer kemuliaan dan kesalehan dari laki-laki terbaik kepada perempuan utama itu berlangsung. Rasulullah juga sangat memuji kesalehan dan keutamaan putrinya itu, “Seutama-utama wanita ahli surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim” (HR Ahmad).
Secara historis, kedekatan ayah dan putrinya ini sudah sepatutnya karena Fatimah tumbuh dewasa dalam kasih sayang dan didikan ayahnya. Ibunya, Khadijah r.a. meninggal dunia ketika Fatimah masih kanak-kanak. Kedekatan hubungan ayah dan putrinya ini seperti tak dapat dipisahkan dunia. Tak lama setelah Rasulullah wafat, Fatimah adalah kerabat pertama menyusul beliau meninggal dunia.