Tak lama kemudian beberapa teman muncul di pintu masuk Selimiye Arasta. Dari tiga belas orang orang, tersisa delapan yang mampu melanjutkan menikmati suasana kota Edirne di luar. Lima orang lainnya merelakan tak bergabung karena tertahan di hotel, terbelenggu rasa kantuk, dan terjerat nyamannya kasur. Rasa capek sukses menawan badan. Benar dugaan temanku itu, seandainya ibuku ikut ke hotel yang berjarak 850 meter dari masjid, kemungkinan tak kuat untuk ikut kembali ke sini.
Aku ikut menyusuri pertokoan lagi, bersama mereka. Memasuki toko aksesoris, tampak anting-anting berbentuk nazar boncugu atau evil’s eye (mata iblis), bisanya dikenal dengan nama Turkish blue eye. Perhiasan itu menarik perhatianku, segera kutanyakan harganya pada penjual, lalu kubayar. Turkish blue eyes berbentuk bulat dengan perpaduan warna biru tua, putih, biru muda, dan hitam. Hiasan berbentuk mata biru ini memang jadi incaranku sejak beberapa minggu sebelum berangkat ke Turki. Aku mendapat info kalau benda ini salah satu oleh-oleh khas Turki yang memikat wisatawan.
Masih dalam toko yang sama, seorang teman mengenakan gelang yang baru dibelinya sambil tersenyum dia bilang, “Kalau pake ini, kayak orang kaya!”. Ada pula yang membeli cincin, gadis keturunan Batak dan Tionghoa itu berseru sambil setengah becanda, “Lihat nih, aku kayak orang kaya lho!”. Seorang ibu keturunan Azerbaijan, Iran, yang sejak kecil tinggal di Indonesia, ikut nimbrung, “Udah kelihatan belum kalau aku orang kaya?”, dia bertanya sambil memperlihatkan cincin barunya berwarna emas bertabur permata yang tak sepenuhnya asli. Penjualnya ternyata bisa berbahasa Indonesia beberapa kata. Dia sesekali menimpali kami menggunakan bahasa Indonesia, yang terakhir, mengucapkan terima kasih begitu kami selesai membayar suvenir. Sudah banyak yang tahu jika pedagang di Turki banyak yang bisa berbahasa Indonesia untuk menarik wisatawan Indonesia yang doyan belanja.
Kami makan malam di Selimiye Kebap yang lokasinya tak jauh dari Masjid Selimiye, sekitar tiga ratus meter. Rasa lelah menguap entah ke mana, yang ada hanyalah ekspresi gembira dalam kebersamaan menikmati suasana Edirne malam itu. Saat itu jam 18.30, melintasi kios buah. Di antara buah-buahan yang terpajang, di keranjang tampak anggur hijau menggoda. Tertera tulisan lima lira, saat itu satu lira Turki setara dengan dua ribu lima ratus rupiah. Aku tertarik membelinya sambil menebak, mungkin harga segitu dapat seperempat kilogram. Ternyata penjualnya menimbangnya hingga sekilo bahkan lebih. Aku dan dan salah seorang teman memekik kegirangan. Anggur berwarna hijau transparan, terdapat bintik biru keunguan. Bagi yang tak kenal, tentunya berkomentar anggur ini tak segar alias layu. Mungkin karena terbiasa mengenal anggur hijau varian lain. Aku jelas tak hafal berbagai jenis anggur hijau, walaupun dijelaskan mudah lupa. Selain anggur yang murah, ternyata penjualnya memberikan bonus delima merah untukku.
Selimiye Kebap sejak tahun 2001 Salah satu hidangan yang dipesan yaitu Tava Ciger, hati sapi diiris tipis lalu dibumbui tepung sebelum digoreng kering. Istimewanya menggunakan minyak bunga matahari, menghasilkan aroma khas. Hidangan ini salah satu menu khas (signature dish) Edirne. Aku hanya mengambil kurang dari lima potong saja, karena lidah ini hanya akrab dengan olahan hati saat dulu masih masa anak-anak.