Kemarin melakukan perjalanan Istanbul ke Edirne selama tiga jam setengah, berlanjut ke Masjid Selimiye dan sekitarnya termasuk menyusuri arasta dari lorong ke lorong lainnya, lalu menikmati suasana malam Edirne, belanja buah, makan malam di Selimiye Kebap. Dan tak disangka tersesat pula saat mencari lokasi hotel, sehingga tadi malam tidur larut, karena jam 10 baru masuk kamar dan tak langsung tidur, ternyata tak membuat ibu dan aku bangun lebih lambat. Jam tiga pagi aku terbangun, rupanya ibu juga ikut bangun, mungkin karena kami masih jet lag. Hanya sekitar empat jam kami terlelap. Jam biologis tubuh ini belum beradaptasi dengan zona waktu yang baru. Turki lebih lambat empat jam dari Waktu Indonesia bagian Barat, di Tanah Air sudah jam tujuh pagi. Maka itulah walaupun bangunnya masih dini hari di Turki, tetapi sudah siang menurut jam Indonesia. Aku dan ibuku ngobrol ke sana kemari sambil menanti fajar merekah. Satu jam kemudian aku menyapa di grup WhatsApp keluarga, apakah sudah sarapan, karena di sana jam delapan pagi.
Sembari ngobrol, aku menanti adzan subuh dilantunkan, pikirku sudah jam empat, masih belum terdengar suara muazin. Rupanya aku masih terbawa kebiasaan di Indonesia, aku lupa bahwa subuh di Turki jam tujuh pagi, dan matahari baru terbit hampir jam sembilan. Beranjak dari ranjang, kubuka tirai, langit gelap, masih lama menunggu fajar. Aku melangkah menuju kamar mandi, lalu melanjutkan aktivitas pagi seperti biasanya. Tak terasa dua jam berlalu, kubuka WhatsApp dan menyapa di grup lainnya. Langit berubah biru tua, kubuka pintu dan menuju balkon. Aku menghirup dalam-dalam udara pagi pertamaku di Edirne. Kumatikan mesin penghangat ruangan, udara tak sedingin sebelumnya.
HP-ku berbunyi, beberapa teman mengajak sarapan bareng di hotel, kujawab supaya mereka duluan saja. Aku tergoda untuk menikmati pemandangan dari balkon lebih lama lagi. Begitu puas, ibuku yang sedang menonton televisi kuajak sarapan di restoran hotel. Suasana restoran agak tampak kurang dari lima belas tamu, mungkin karena sudah jam sembilan pagi. Kukira dari rombongan kami tinggal aku dan ibu yang belum sarapan, begitu akan memilih makanan, datanglah dua orang teman, mereka sepasang suami istri yang telah beberapa kali mengunjungi Turki.
Aku mengambil sosis, kentang goreng, dan beberapa kudapan khas Turki. Tak lupa juga mengambil manisan yang terdiri dari buah zaitun, rasanya asin, masam, dan renyah, serta agak getir, berpadu dengan strawberry dan murberry. Ibuku masih mau mencoba melahap zaitun karena dibilang enak dan sehat oleh salah satu teman tadi yang banyak mengarahkan makanan mana saja yang harus dicicipi. Setelah dikunyah, tetap saja ibu meringis, lidahnya belum bisa akrab. Aku menghampiri teman lainnya, kutanya apakah sedang tak sehat. Dia mengiyakan, menurutnya akibat salah makan tadi malam, yakni kebanyakan makan Tava Ciger alias hati sapi goreng. Yang lain tak bermasalah, hanya dia saja, memang daya tahan tubuh masing-masing orang terhadap makanan tak sama. Tadi malam aku melahap kurang dari lima iris saja,