BAB 1: Pertemuan di Bawah Terik dan Takdir
Siang itu, matahari seperti punya dendam. Panasnya nempel kayak mantan yang belum move on. Eki, dengan kaos oblong yang udah pudar dan topi lusuh, baru aja selesai ngangkut semen dari truk ke proyek bangunan. Keringatnya netes deras, tapi senyumnya tetap ada. Karena buat Eki, kerja keras itu bukan beban—itu cara dia bertahan dan membuktikan, kalau cowok kuli juga punya harga diri.
“Eki! Ini cat temboknya, cepat diangkat ke lantai dua!” teriak mandor.
“Siap, Bos! Lantai dua atau langit ketujuh sekalian?” jawab Eki sambil nyengir, bikin tukang-tukang lain ketawa cekikikan.
Di sisi lain kota, Intan baru saja keluar dari mobil dengan wajah lelah. Baru seminggu pindah dari Jakarta ke kota kecil ini, dia masih belajar berdamai dengan kenangan masa lalu—tentang tunangannya yang mengkhianati, keluarganya yang terlalu menuntut, dan hidup yang nggak pernah kasih jeda buat bernapas.