Aku Andhika Tulus Pratama, dan inilah kisahku—sebuah perjalanan penuh liku yang dimulai dari langkah pertamaku di dunia pendidikan. Hari-hari pertamaku di SD Kertapati selalu kuingat dengan jelas. Sekolah ini terletak dekat rumah kakekku, dan meski aku masih kecil, rasa harap dan semangatku untuk belajar sudah tumbuh sejak saat itu. Di sinilah aku mulai berinteraksi dengan teman-teman sebayaku, merasakan indahnya persahabatan dan, sayangnya, pahitnya bullying.
Kedua orang tuaku selalu mendorongku untuk giat belajar. Ayahku seorang pekerja keras yang berusaha untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sementara ibuku adalah sosok yang selalu memberikan semangat dan dukungan. Setiap pagi, aku berangkat dari rumah dengan bekal yang dibuat ibuku dengan penuh kasih. Sebuah bekal sederhana—nasi, sayur, dan tempe—tetapi itu menjadi sumber kekuatan yang mengingatkanku akan cinta keluarga. Aku bersemangat untuk belajar, berharap bisa membuat mereka bangga.
Di SD Kertapati, meskipun ada momen bahagia, aku juga menghadapi tantangan. Beberapa teman di sekolah ini terkadang mengolok-olokku karena penampilanku yang berbeda—aku bukanlah anak yang kaya, dan seragamku sering kali tampak usang. Namun, saat itu, aku berusaha untuk tetap tersenyum dan bertahan. Setiap kali mereka mulai mengolok-olok, aku mencoba untuk tidak mendengarkan, tetapi kata-kata itu terus membekas dalam hati.
Seiring waktu, bullying itu semakin menjadi-jadi. Suatu hari, aku ingat ketika aku sedang bermain sepak bola di lapangan sekolah. Aku terjatuh dan tidak sengaja menendang bola ke arah sekelompok anak laki-laki. Alih-alih mengerti, mereka malah tertawa dan mulai mengejekku. "Hanya anak miskin yang tidak bisa bermain!" teriak salah satu dari mereka. Saat itu, aku merasa sangat malu dan ingin sekali menghilang dari tempat itu.
Setelah beberapa tahun di Kertapati, keluargaku memutuskan untuk pindah ke Sebrang Ulu 1, dekat rumah bibiku. Pindah sekolah berarti harus meninggalkan semua teman dan kenangan di SD Kertapati. Di sinilah, sayangnya, aku kembali mengalami bullying. Bullying yang lebih menyakitkan—verbal. Teman-teman sekelasku mulai mengolok-olokku dengan kata-kata yang pedas. Setiap kali mereka mengejek, rasanya seperti tusukan di hati. Ada satu saat ketika aku pulang dari sekolah, salah seorang teman sekelasku memanggilku dengan sebutan yang sangat menyakitkan. Sejak saat itu, setiap kali aku melihatnya, rasa takut dan malu menyelimuti diriku.
Saat aku di SD Sebrang Ulu 1, ayah memutuskan untuk pindah rumah ke Talang Kelapa, yang berarti aku harus beradaptasi dengan lebih banyak perubahan. Perpindahan ini membawa banyak tantangan baru. Kini, aku harus naik tiga angkutan umum berbeda—angkutan putih, merah, dan kuning—setiap kali pergi dan pulang dari sekolah. Perjalanan yang panjang dan melelahkan membuatku sering pulang larut malam, dan kadang, aku merasa kehabisan tenaga sebelum sampai di rumah.
Di rumah baru yang sederhana di Talang Kelapa, aku berusaha untuk bersikap positif. Namun, di dalam hati, rasa kesepian dan keterasingan terus menghantuiku. Sekolah baru, teman baru, dan semua kenangan buruk dari masa lalu sering membuatku merasa terjebak dalam kegelapan. Meski tinggal di rumah baru ini, suasana hati yang penuh beban tidak kunjung hilang.
Hari-hari di SD Talang Kelapa berlangsung cukup berat. Meski aku berusaha untuk bersikap ramah dan berbaur, bullying tetap terjadi. Suatu hari, saat aku duduk sendirian di bangku belakang kelas, beberapa anak laki-laki mulai menggodaku lagi. Kali ini, mereka mengejekku tentang pakaian yang ku kenakan, seolah-olah seragam sekolahku adalah bahan tertawaan. "Apa kamu tidak punya baju lain? Seharusnya kamu malu datang ke sekolah seperti ini!" teriak salah satu dari mereka. Semua teman sekelas tertawa, dan aku merasa hatiku hancur. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir menetes.
Ketika aku pulang malam itu, aku tidak bisa mengeluarkan semua perasaan itu. Rasa sakit akibat ejekan mereka membekas dalam diriku. Di dalam perjalanan pulang, aku bertanya-tanya dalam hati, "Tuhan, apakah Kau membenciku? Kenapa semua ini terjadi padaku?" Pertanyaan itu terus terngiang dalam benakku, seperti sebuah mantra yang tak pernah berhenti.
Sampai di rumah, aku menemukan kedua orang tuaku sedang menunggu di meja makan. Mereka selalu menyambutku dengan senyuman, tetapi malam itu, senyuman itu terasa pahit di mulutku. "Apa kabar, Nak?" tanya ayah. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil, menyembunyikan semua rasa sakit yang kualami.
Hari-hari berikutnya terasa seperti pengulangan dari yang sama. Setiap kali aku berangkat ke sekolah, ada rasa cemas yang menyelimuti hatiku. Meskipun aku mencoba untuk tidak memperdulikan ejekan, kadang-kadang itu terlalu sulit. Tetapi, di balik semua itu, ada satu hal yang terus menyemangatiku—cita-citaku untuk menjadi seorang prajurit TNI. Impian itu adalah satu-satunya cahaya dalam hidupku yang gelap.
Di sekolah, aku mulai berusaha untuk fokus belajar. Aku tahu bahwa jika aku ingin mencapai impianku, aku harus mengesampingkan semua rasa sakit dan berfokus pada pendidikanku. Aku mulai mencatat dengan lebih serius dan mengerjakan tugas-tugas dengan giat. Dalam hati, aku bertekad bahwa tidak ada yang bisa menghentikanku untuk meraih mimpi.
Saat berada di kelas, aku duduk di bangku paling belakang, merasakan ketegangan di udara. Suatu hari, kami diberi tugas untuk mengikuti olimpiade sains di sekolah. Rasa cemas yang semula menghinggapi mulai berubah menjadi tantangan yang harus kutaklukkan. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan diriku, untuk menunjukkan bahwa aku lebih dari sekadar objek ejekan.
Berlatih untuk olimpiade menjadi satu-satunya cara bagiku untuk melupakan semua yang menyakitkan. Setiap malam, aku menghabiskan waktu belajar hingga larut, berusaha memahami setiap materi. Suatu ketika, saat sedang belajar, aku teringat akan semua ejekan dan bully yang telah kuterima. Rasa sakit itu seolah berubah menjadi bahan bakar yang membakar semangatku.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan belajar keras, hari olimpiade pun tiba. Aku merasa gugup namun bersemangat. Saat nama pengumuman pemenang terdengar, jantungku berdebar-debar. Ketika namaku disebut sebagai juara ketiga, rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Air mata bahagia mengalir di pipiku, bukan hanya karena prestasi, tetapi karena aku akhirnya merasa dihargai.