Jam tambahan pelajaran, ulangan bertubi-tubi, perpustakaan yang penuh,juga guru-guru yang lebih cerewet dibanding biasanya menjadi tanda ujian semester sudah di pelupuk mata. Namun, bagaimana dengan ujian hidup? Ia datang tanpa berkabar terlebih dahulu. Ia layaknya Jelangkung. Kadang seperti noda kopi pada kemeja putih yang butuh penanganan khusus untuk membersihkannya,terkadang seperti bom waktu tapi bisa juga semenyebalkan dan mengganggu seperti nyamuk yang menguning di ditelinga. Datang tanpa ampun, tanpa permisi.
Hariku yang damai nan tenang hilang dalam sekejap detik setelah pria muda dengan suara melengking melangkah masuk.”Hellooo, everybody. Dani telah tiba,” katanya seperti Superman yang telah menyelamatkan umat manusia dari akhir dunia. Ia melirikku, aku melengos.
“Weh, Dani gimana acara nikahan mbakmu?” tanya Pak Arif, dua jempol Dani mengacung, aku yakin jempol kakinya juga. Dia dengan senang hati menjadi pendongeng, menceritakan kisah dari H-100 hingga H+1 pernikahan. Ia juga dengan senang hati membawakan jajanan untuk kami semua.
Melihat usahanya tentu sebagai teman yang simpatik kuberi ia beberapa pertanyaan kecil yang nyatanya sama saja menggali kuburanku sendiri. Karena tiap ada kesempatan ia akan berusaha mengajakku bicara. Meski pada akhirnya hanya menjadi pentas monolog Dani dengan satu penonton– yang terpaksa, dan orang sial itu adalah diriku. Terkadang aku juga merasa ia gemas melihatku yang tak banyak bicara sepertinya, ia seakan ingin mendobrak tembok besar milikku tapi sayang sekali selalu nihil hasilnya.
Sebenernya aku sendiri terpukau dengan bagaimana mudahnya ia berteman. Ketika kami jalan bersama minimal kami akan berhenti lima kali karena ada saja manusia-manusia yang menyetopnya. Sering juga aku melihatnya menyapa orang-orang di mall. Rasanya seperti berjalan dengan artis. Kebetulan ia bisa menyanyi dan tentunya ia merasa bak idol. Sebenarnya daripada disebut bernyanyi ia lebih seperti serigala melolong.
“Nay, katanya Ica mau sekos sama kamu ya?” tanya Dani.
“Belum pasti, lagian kamu tau darimana?” selidikku, sembari mengenakan jaket hendak pulang.
“Ada deh, hari ini dia ke kosmu kan?”
“Iya, dah mau pulang aku.”
“Okay.” Aku heran bagaimana Dani bisa tahu semua hal. Dia seharusnya bekerja sebagai Intel bukannya sales.
Pulang bisanya terasa menyenangkan. Tidak seperti kali ini, kepalaku dipenuhi balon-balon pertanyaan. Film mungkin saja juga terus berputar dengan skenario yang tak sanggup dihitung dengan tangan kaki. Balon-balon itu kini meletus. Berserakan di kepala dan membuat dadaku sesak kepayahan. Aku menjadi ragu dengan rencanaku. Bagaimana kalau ini pilihan yang buruk? Tapi umpan sudah dilempar, kini tinggal menarik atau melepas ikannya. Aku harus menanggung kenaifan dan sikap sembrono yang kubuat.